Jakarta (Pendis) - Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68
Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada
Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah mendapat
kritik. Sejumlah pihak menilai PMA ini
menjadi salah satu faktor terjadinya jual beli jabatan dalam pemilihan
rektor di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin mengatakan bahwa PMA 68/2015 itu tidak serta merta terbit. Menurutnya ada proses perdebatan panjang di DPR, kampus, dan masyarakat dalam penyususan PMA tersebut.
"Sebelum PMA ini terbit, pimpinan PTKIN dipilih
oleh Senat. Senat lalu menyerahkan tiga nama kepada Menteri Agama untuk
dipilih salah satunya. alam perkembangannya, sebagian masyarakat kampus
kemudian menilai bahwa calon rektor atau ketua yang dipilih harus nomor
satu dari pilihan Senat," terang Kamaruddin Amin di Jakarta, Kamis
(21/03).
Mekanisme ini, kata Kamaruddin, dalam perkembangannya menjadi
instrumen yang menciptakan polarisasi masyarakat kampus menjadi sangat
tajam. Di dunia kampus, muncul tim sukses, bahkan sejak dua tahun
sebelum pemilihan sehingga polarisasi sudah mulai mencuat. Dampaknya,
setelah rektor terpilih, ada pendukung yang merasa punya jasa lalu
meminta jabatan. Sementara yang kalah harus bergeser. "Perseteruan
seperti ini bahkan bisa terjadi selama satu periode masa jabatan,"
tegasnya.
"Ini salah satu latar belakang kenapa PMA ini muncul. Kampus menjadi sangat politis dan dampaknya sampai mahasiswa karena masing-masing punya dukungan," sambungnya.
Menurut Kamaruddin, Menag Lukman Hakim Saifudin melihat hal ini
sebagai kondisi yang tidak produktif. Untuk itu, Kemenag berijtihad
untuk mengeluarkan kebijakan agar suasana kampus lebih kondusif. "Maka
dibuatlah PMA 68 tahun 2015," ujarnya.
Mekanisme PMA 68
PMA 68/2015 tetap memberikan kewenangan
kepada senat untuk memberikan penilaian secara kualitatif kepada calon.
Penilaian itu antara lain mencakup integritas, kompetensi akademik,
pengalaman dan kemampuan manajerial, leadership dan kerjasama calon
rektor atau ketua. "Penilaian Senat menjadi salah satu dasar dan
pertimbangan komisi seleksi (komsel) dalam memberikan penilaian kepada
calon. Artinya, penilaian senat sangat penting dalam proses seleksi
dimaksud," tutur Kamaruddin.
Hasil penilaian kualitatif dari Senat, dikirim ke Kementerian Agama
untuk dilakukan seleksi oleh Komsel yang dibentuk oleh Menteri Agama.
Komsel bertugas melakukan fit and propert test atas nama-nama yang
dicalonkan oleh Senat.
Selanjutnya, kata Kamaruddin, Komsel bekerja untuk menghasilkan tiga
nama terbaik, lalu diserahkan kepada Menag untuk dipilih salah satunya.
Tiga nama yang diserahkan itu adalah orang-orang yang oleh Komsel
dinilai layak menjadi Rektor atau Ketua, sehingga Menag bisa memilih
salah satunya.
"Komsel seleksi diisi oleh orang-orang yang mempunyai integritas dan
tidak bisa diintervensi. Menag atau siapapun tidak bisa mengintervensi
tim komisi seleksi. Anggotanya ada tujuh orang guru besar," tuturnya.
"Ini salah satu ijtihad Menag untuk menciptakan suasana kondusif di
Kampus. Memang ada yang mengkritik, tapi tidak sedikit yang
mengapresiasi," sambungnya.
"Bahkan, di Amerika (negara yang paling demokratis), rektor tidak
dipilih oleh senat, melainkan "dicari" oleh Tim Komite Pencari Rektor,"
katanya lagi.
Kamaruddin menambahkan bahwa PMA ini sudah memilih 27 rektor PTKIN dan
semuanya berjalan dengan lancar, tidak ada keributan, kondusif, serta
tidak ada polarisasi civitas akademika secara signifikan. Sehingga, PMA ini diapresiasi banyak pihak, termasuk civitas akademika.
"Ribut-ribut ini muncul kan karena adanya peristiwa OTT yang
melibatkan Kanwil dan Kakankemenag, kemudian diasumsikan pemilihan
rektor juga bermasalah; sesuatu yang tidak identik," ujarnya.
Meski demikian, Kamaruddin memastikan bahwa pihaknya terbuka untuk perbaikan PMA 68/2015. "Kami terbuka untuk dilakukan evaluasi dan mendiskusikan kembali aturan ini," tandasnya. (Humas Kemenag/dod)
Sumber : http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detil&id=10258
0 komentar:
Posting Komentar