Sabtu, 08 Januari 2022

Biografi KH Kholil Bangkalan

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).

Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Kembali ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.

Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).

Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.

3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.

“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.

“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.

“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.

“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa

Dalam Sumber lain yang menceritakan tentang Mbah Kholil diceritakan sebagai berikut :

Beliau bernama Mohammad Cholil bin Abdul Latif. Lahir pada tahun 1225 H/ 1835 M. di desa Kramat Bangkalan. beliau di didik langsung oleh ayah handanya KH. Abdul Latif yang merupakan seorang da’i di masa itu. Kemudian KH. Abdul Latif menyerahkan Cholil kecil kepada kakak perempuannya yang bernama Nyai Maryam yang merupakan istri KH. Qoffal. sebagai ipar, KH. Qoffal mendidik Cholil kecil dengan telaten, Sebab kehebatan Cholil kecil dalam memahami ilmu agama, KH. Qoffal mengirimnya pada Kiai-kiai terkemuka di Bangkalan untuk memahami ilmu gramatika arab, seperti ilmu nahwu, shorrof, dan yang lain.

Diantara guru-guru beliau adalah Tuan Guru Dawuh yang merupakan seorang ummy (tidak bisa baca dan tulis). Tuan Guru Dawuh mengajar murid-muridnya tanpa ada kelas. Selain Tuan Guru Dawuh, Cholil juga belajar pada Bhujuk Agung, Yang merupakan mursyid dari thoriqoh Annaksabandiyah. Dan dari beliau Chollil kecil belajar ilmu batin.

Masa nyantri

1.            Pesanntren Langitan Tuban.

Setelah Cholil kecil menginjak umur 15 tahun, KH. Qoffal mengirim Cholil kecil ke pesantren-pesantren di Jawa. Seperti Pesantren Langitan Tuban yang diasuh oleh KH. Muhammad Noer, Pada umur yang relatif muda itu, karomah Cholil kecil sudah tampak, ketika KH. Muhammad Noer menjadi imam sholat, Cholil kecil tertawa, Karena melihat sang imam sholat membawa tumpeng di atas kepalanya, sebab pada saat itu sang imam tidak khusyuk dalam sholat sebab lapar.

2.            Pesantren Cangaan Bangil.

Setelah kurang lebih 3 tahun berada di Pesantren Langitan dan usianya yang semakin bertambah, Cholil muda melanjutkan perjalanan mondoknya ke Pesantren Cangaan yang terletak di daerah Bangil dan diasuh oleh KH. Asyik. kewalian Cholil muda juga tampak, tatkala sang pengasuh meminta gula has Madura. Cholil muda memberitahu pada sang kiyai letak gula tersebut, lalu KH. Asyik menyuruh sebagian santri lainnya untuk mengambil gula tersebut dan meletakkannya ke dapur. Dan hebatnya, setelah semua santri merasa lelah dan dapur sudah penuh dengan gula tersebut, gula yang ada di kamar Cholil masih utuh.

3.            Pesantren Kebun Candi dan Sidogiri

Setelah dari Pesantren Cangaan, Cholil muda pindah ke Pesantren Kebun Candi yang diasuh oleh KH. Arif pada masa itu. Sambil nyantri di Pesantren tersebut, Cholil muda diperintah oleh KH. Arif untuk mengaji ke Pesantren Sidogiri yang diasuh KH. Noerhasan yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Dalam perjalanan menuju Sidogiri, Cholil muda memiliki sebuah keistiqomahan yakni membaca surah yasin sebanyak 41 kali (20 kali ketika berangkat, 20 kali ketika kembali, dan 1kali setelah sampai di Pesantren Kebun Candi). Tatkala sampai di malam selasa dan malam jum’at, Cholil muda menangis. Karena keistiqomahan beliau terputus.

4.            Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banyuwangi

Tidak berhenti disitu Cholil muda melanjutkan mondoknya ke pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang terletak di daerah Banyuwangi, yang diasuh oleh KH. Abdul Bashir. Disana Cholil muda belajar sambil berkhidmah pada sang kiyai. Dengan cara  memanen kelapa di kebun sang kiyai, KH. Abdul Bashir memberi 3 sen pada Cholil setelah ia dapat memanen 80 pohon kelapa. Namun uang tersebut tidak pernah ia gunakan melainkan disimpan. Setelah uang tersebut terkumpul cukup banyak, Cholil muda mengembalikannya pada sang kiyai, namun ditolak oleh sang kiyai dan menyuruh Cholil muda untuk mondok ke Mekkah dengan uang tersebut.

5.            Mondok di tanah Mekkah

Pada tahun 1860 an Syaichona Cholil menginjakkan kakinya di tanah Mekah. Disana Syaichona Cholil berguru pada Syekh Nawawi Al bantany, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lain. Syaichona Cholil menimba ilmu di kota Mekah kurang lebih 4 tahun. Menurut sebagian cerita, dalam masa mondoknya di Mekkah Syaichona Cholil tidak pernah dikirim. Sehingga dalam memenuhi kehidupan sehari-harinya beliau menjual karya tulisnya, seperti kitab alfiyah Ibnu Malik. Beliau juga sering makan kulit semangka dan minum air zam-zam.

Kembali ke tanah air

Sepulangnya dari Mekkah beliau mendirikan pondok di desa Jhengkebuwen, kealimannya akan semua ilmu, nama beliau cepat masyhur di kalangan masyarakat, sehingga banyak orang yang nyantri padanya.

Santri-santri Syaichona Cholil

Diantara santri-santri beliau adalah KH. Hasym Asy’ari (pendiri jam’iyah Nahdlotul Ulama), KHR. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, KH. Bahar bin Noerhasan Sidogiri, KH. Wahhab Hasbulloh Jombang, KH. Abdul Karim Lirboyo, KH. Bisri Samsuri (pendiri sarekat islam Mekah), KH. Masykur (mentri agama pada masa presiden Ir. Soekarno), KH. Ramli Tamim, KH. Mustofa bisri, KH. Munawwir Krapyak Jokja, KH. Hasan mustofa Garut dan masih banyak santri-santri beliau yang menjadi tokoh negara, seperti Ir. Soekarno Presiden pertama di Indonesia.

Wafatnya Maha Guru Ulama Nusantara

Syaichona Cholil wafat pada 29 Ramadlan 1343 H / 24 April 1925 M dan di makamkan di desa Martajasah Bangkalan Madura.

Dalam sumber lain menceritakan tentang biografi syekh Kholil Bangkalan atau Mbh Kholil sebagai berikut:

Riwayat Hidup dan Keluarga

Lahir

Syekh Muhammad Kholil atau yang kerap dipanggil dengan Syekh Kholil Bangkalan atau Mbah Kholil lahir pada 11  Jumadil akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.

Jalur nasab Syekh Kholil Bangkalan dari jalur ayah sampai kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Cirebon). Nasab beliau adalah Syekh Kholil Bangkalan bin KH. Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH. Muharram bin KH. Asrar Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

Riwayat Keluarga 

Menurut M Zaini, dalam tesis Genealogi pesantren di Bangkalan: studi genealogi Syaikhona Kholil Bangkalan Madura yang dipublikasi UIN Sunan Ampel, runtutan nasab Syechona dari jalur putra sebagai berikut: Kiai Kholil bin Kiai Abdul Latif bin Kiai Hamim bin Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman Mojo Agung yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Dalam penjabaran M. Zaini, Syechona Kholil Bangkalan memiliki sembilan istri yaitu: Pertama, Raden Ayu Assek binti Lodrapati. Kedua, Nyai Ummu Rahmah. Ketiga, Raden Ayu Arbi’ah. Keempat, Nyai Mesi. Kelima, Nyai Su’lah. Keennam, Nyai Kuttab. Ketujuh, Nyai Sabrah. Kedelapan, Raden Ayu Nurjadi. Kesembilan, seorang janda kaya berasal dari telaga biru, Tanjung Bumi, Bangkalan.

 “Anak keturunan Kiai Kholil berasal dari empat orang istri, yaitu: Raden Ayu Assek binti Ludrapati, Nyai Ummu Rahmah, Raden Ayu Arbi’ah dan Nyai Mesi,” tulisnya.

Sedangkan lima istri yang lain, yaitu Nyai Su’lah, Nyai Khuttab, Nyai Sabrah, Raden Ayu Nurjati dan seorang janda dari Telaga Biru, sampai Syechona wafat tidak dikaruniai keturunan.

Perkawinan Syechona Kholil dengan Raden Ayu Assek binti Lodrapati

1) Raden Ayu Assek binti Lodrapati sebagai istri pertama Syechona Kholil. Nyai Assek seorang perempuan yang mempunyai darah (keturunan bangsawan). Pernikahan Syechona Kholil dengan Raden Ayu Assek binti Lodrapati konon berawal dari sayembara yang diadakan oleh ayahandanya, Pangeran Lodrapati.

Waktu itu, sang putri mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. Ayahandanya melakukan sayembara yang isi pengumumumannya adalah “barang siapa yang mampu menyembuhkan anakku, jika laki-laki akan dijadikan menantunya”.

Kabar ini sampai kepada Kiai Kholil, lalu membantu mengobati penyakit yang diderita oleh putri Lodrapati. Dengan izin Allah, Raden Ayu Assek binti Lodrapati sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Dari kisah inilah, Syechona Kholil dinikahkan dengan Nyai Assek pada bulan Rajab 1278 H. Saat itu, Raden Ayu Assek binti Lodrapati masih berusia 26 tahun. Sedangkan Syechona Kholil ditulis berusia 24 tahun. Hasil dari pernikahan tersebut, Syechona Kholil dikaruniai dua keturunan, yaitu Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Hasan.

Anak pertama Syechona Kholil (Nyai Khotimah) dinikahkan dengan Kiai Muhammad Thoha bin Kahfal atau lazimnya dipanggil Kiai Munthaha, pada tahun 1290 H.

Hasil perkawinannya dikaruniai empat orang anak. Yaitu, Kiai Ahmad, Kiai Abdul Latif, Kiai Mujtabah dan Nyai Rohmah.

Sedangkan Anak Kedua Kiai Kholil yaitu Kiai Muhammad Hasan menikah dengan Nyai Karimah pada tahun 1316 H, tetapi pernikahan ini tidak dikarunia anak.

2) Ibu Nyai Rohmah, yang berasal dari Kemayoran, Labang Buta dekat dengan Pasar  Seninan Bangkalan. Dari istri keduanya Kiai Kholil dikaruniai seorang putri bernama Nyai Rohmah. Putri Kiai Kholil yang semata wayang tersebut akhirnya dinikahkan dengan Kiai Muhammad Bakri, sehingga dari pasangan ini Kiai Kholil memiliki seorang cucu laki-laki   bernama  Muhammad Umar yang kemudian dinikahkan dengan putri Hj. Zahrah bernama  Romlah yang tinggal di utara alun-alun Kota Bangkalan. Hasil pernikahan mereka dikaruniai  dua orang anak bernama Busri dan Nyai Saudah. Nyai Rohmah binti Kiai Kholil kemudian  menikah lagi dengan H. Muhammad Hosen, yang manaia berasal dari Sumur Kuning  Kwanyar Bangkalan. Hasil pernikahan keduanya ini Nyai Rohmah dikaruniai seorang putri cantik bernama Minnah yang akhirnya diperistri oleh H. Muhammad Nafi’. Mereka dikaruniai tiga orang putri yaitu Nyai Nahlah, Nyai Jamilah dan Nyai Aminah.

3) Raden Ayu Arbi’ah, yang masih keturunan Bangsawan yang berasal dari Longapan, Kemayoran, Bangkalan. Hasil pernikahannya ini Kiai Kholil dikaruniai dua orang anak yaitu Ahmad Baidhowi dan Muhammad Imron. Akan tetapi, Ahmad Baidhowi meninggal dunia pada usia lima bulan. Sedangkan Muhammad Imron setelah menginjak kedewasaannya, memperistri seorang gadis yang berasal dari desa Sabreh. Gadis itu bernama Nyai   Mutmainnah.

Kedua pasangan ini akhirnya dikaruniai anak lima orang anak yaitu: Nyai Romlah, Nyai Aminah, Nyai Nadhifah, Kiai Makmun dan Kiai Amin. Selain istri pertamanya  Nyai Mutmainnah, Kiai  Imron juga memiliki istri yang lain, ia bernama Nyai Maimunah.  Perkawinan dengan istri keduanya ini Kiai Imron dikaruniai anak empat yaitu: Kiai  Munawir,  Nyai Naimah, Nyai Arfiyah dan Nyai Jamaliyah.

4) Nyai Mesi adalah istri Kiai Kholil yang berasal dari daerah Sumur Kepek Labang  Bangkalan. Pernikahan dengan Nyai Mesi, Kiai Kholil dikaruniai seorang putri yang bernama lahir Nyai Asma. Setelah anak gadisnya menginjak dewasa Nyai Asma dinikahkan  dengan Kiai Muhammad Yasin. Hasil perkawinannya ini akhirnya dikaruniai delapan orang  anak yaitu: Nyai Malihah, Kiai Kholil Yasin, Kiai Nasir Yasin, Nyai Badriyah, Nyai Naylah,  Nyai Asiyah, Nyai Karimah, Nyai Maimunah dan yang terakhir adalah Nyai Rabi’atul Adawiyah.

Wafat

Syekh Kholil Bangkalan wafat dalam usia 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi, jasadnya dikebumikan di desa Mertajesa, Kecamatan Bangkalan.

Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

Mengembara Menuntut Ilmu

Syekh Kholil Bangkalan memulai pendidikannya dengan belajar langsung kepada ayahnya. Beliau belajar ilmu Fiqh dan nahwu. Berkat dari didikan ayahnya, sejak usia muda ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik.

Setelah dididik, orang tua Syekh Kholil Bangkalan kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Syekh Kholil Bangkalan muda belajar kepada KH. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, Beliau tak pernah lupa membaca Surat Yasin.

Sewaktu menjadi santri, Syekh Kholil Bangkalan telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz al-Qur'an dan mampu membaca al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.

Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Syekh Kholil Bangkalan memutuskan untuk pergi ke Makkah. Untuk ongkos pelayaran bisa beliau tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Syekh Kholil Bangkalan berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.

Guru-Guru Beliau

       Guru-Guru Syekh Kholil Bangkalan di antaranya:

1.            KH. Abdul Lathif (Ayahnya)

2.            Tuan  Guru  Dawuh  (Buju’  Dawuh)

3.            Tuan  Guru  Agung  (Buju’Agung)

4.            Kiai Sholeh ( Pesantren Bungah Gresik)

5.            KH. Asyik.

6.            KH. Arief ( Pesantren Darussalam Pasuruan)

7.            KH. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan

8.            KH. Abu Dzarrin

9.            KH. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban

10.          KH. Abdul Bashar ( Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banyuwangi)

11.          Syaikh  Ahmad  Khatib  Sambas,

12.          Syaikh Abdul Adzem Al Maduri

13.          Syaikh Ali Rahbini

14.          Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah

15.          Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi

16.          Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah

17.          Syekh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah

18.          Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah

19.          Sunan Tirmizi dan Sunan Nasai

Mendirikan Pesantren

Pesantren Syaichona Cholil didirikan langsung oleh Syaikhona di Bangkalan.  Syaikhona Kholil mendirikan ini setelah mendirikan pesantren yang pertama di desa   Jengkebuan. Akan tetapi Setelah putrinya, Siti Khatimah, dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha (Muhammad  Thaha) pesantren di desa  Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya tersebut. Akhirnya Kiai  Khalil pada tahun 1861 M, mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak pesantren yang baru itu, hanya selang 1 kilometer dari pesantren lama dan desa kelahirannya. Pesantren yang terakhir ini kemudian dikenal sebagai Pesantren Syaikhona Kholil 1.

Penerus Beliau

Putera-puteri Beliau

1.            Nyai Hj. Khotimah Kiai Muhammad Thoha bin Kahfal atau lazimnya dipanggil Kiai Munthaha, pada tahun 1290 H.

Hasil perkawinannya dikaruniai empat orang anak. Yaitu:

1. Kiai Ahmad

2. Kiai Abdul Latif

3. Kiai Mujtabah

4. Nyai Rohmah.

 

2.            KH. Muhammad Hasan menikah dengan Nyai Karimah pada tahun 1316 H, tetapi pernikahan ini tidak dikarunia anak.

 

3.            Nyai Hj. Rohmah dinikahkan dengan Kiai Muhammad Bakri, sehingga dari pasangan ini Kiai Kholil memiliki seorang cucu laki-laki bernama

1. KH. Muhammad Umar

 

4.            KH. Muhammad Imron menikah dengan seorang gadis yang berasal dari desa Sabreh. Gadis itu bernama Nyai   Mutmainnah. Kedua pasangan ini akhirnya dikaruniai anak lima orang anak yaitu:

1. Nyai Romlah

2. Nyai Aminah

3. Nyai Nadhifah

4. Kiai Makmun

5. Kiai Amin

 

Selain istri pertamanya Nyai Mutmainnah, Kiai Imron juga memiliki istri yang kedua, ia bernama Nyai Maimunah. Perkawinan dengan istri keduanya ini Kiai Imron dikaruniai anak empat yaitu:

1. Kiai Munawir

2. Nyai Naimah

3. Nyai Arfiyah

4. Nyai Jamaliyah

 

5.            Nyai Hj. Asma Menikah dengan Kiai Muhammad Yasin. Hasil perkawinannya ini akhirnya dikaruniai sembilan orang  anak yaitu:

1. Nyai Malihah

2. Kiai Kholil Yasin

3. Kiai Nasir Yasin

4. Nyai Badriyah

5. Nyai Naylah

6. Nyai Asiyah

7. Nyai Karimah

8. Nyai Maimunah

9. Nyai Rabi’atul Adawiyah.

 

Murid-murid Beliau

Berkat kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Syekh Kholil Bangkalan, beliau telah berhasil mencetak murid-muridnya menjadi tokoh, ulama, kiai, dan para pendiri pondok pesantren. Murid-murid beliau diantaranya:

1.            KH. Muhammad Hasan Sepuh - pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo

2.            KH. Hasyim Asy’ari - pendiri Nahdlatul 'Ulama, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang

3.            KH. Abdul Wahab Chasbullah - pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang

4.            KH. Bisri Syansuri - pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang

5.            KH. Manaf Abdul Karim - pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri

6.            KH. Ma'shum - pendiri pondok pesantren Al Hidayat Lasem, Rembang

7.            KH. Munawir - pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta

8.            KH. Bisri Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang

9.            KH. Nawawi - pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan

10.          KH. Ahmad Shiddiq - pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jember

11.          KH. As'ad Syamsul Arifin - pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo

12.          KH. Abdul Majjid - pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan

13.          KH. Toha - pendiri Pondok Pesantren Batabata, Pamekasan

14.          KH. Abi Sujak - pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung, Sumenep

15.          KH. Usymuni - pendiri Pondok Pesantren Pandian, Sumenep

16.          KH. Zaini Mun'im - Paiton, Probolinggo

17.          KH. Khozin - Buduran, Sidoarjo

18.          KH. Abdullah Mubarok - pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

19.          KH. Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan

20.          KH. Asy'ari - pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso

21.          KH. Sayyid Ali Bafaqih - pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Bali

22.          KH. Ali Wafa - Tempurejo, Jember

23.          KH. Munajad - Kertosono, Nganjuk

24.          KH. Abdul Fatah - pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung

25.          KH. Zainul Abidin - Kraksaan, Probolinggo

26.          KH. Zainuddin - Nganjuk

27.          KH. Abdul Hadi - Lamongan

28.          KH. Zainur Rasyid - Kironggo, Bondowoso

29.          KH. Karimullah - pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso

30.          KH. Muhammad Thohir Jamaluddin - pendiri Pondok Pesantren Sumber Gayam, Madura

31.          KH. Hasan Mustofa - Garut

32.          KH. Raden Fakih Maskumambang – Gresik

33.          Ir. Soekarno - Presiden Republik Indonesia pertama, menurut penuturan KH. As'ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Syekh Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Syekh Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.

Kisah-Kisah Dengan Para Muridnya

Adapun cerita Syekh Kholil dengan murid-muridnya adalah sebagai berikut:

KH. Ma’shum Lasem

Kiai Ma'shum - Lasem, Rembang: Dikurung, Disuruh Ngajar dan Didoakan

Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem diceritakan bahwa suatu hari Syekh Kholil Bangkalan meminta santrinya untuk membuat kurungan ayam jago sebab akan datang jagoan dari tanah Jawa ke Bangkalan. Keesokan harinya datang seorang pemuda bernama Muhammadun (nama Mbah Ma’shum waktu muda) yang berusia 20 tahun dari tanah Jawa. Oleh Syekh Kholil, pemuda itu diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago yang telah dibuat santrinya.

Dengan penuh takzim pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago. Syekh Kholil kemudian berkata kepada santri-santrinya, Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa.

Pada awal nyantri, Mbah Lasem malah disuruh mengajarkan Alfiyah kepada santri-santri Syekh Kholil di dalam kamar yang tidak ada penerangnya. Mbah Ma’shum hanya nyantri selama 3 bulan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa Sapu Jagad. Saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, ia dipanggil kembali oleh Syekh Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

KH. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim Asy’ari - Tebuireng, Jombang: Disuruh Manjat, Angon dan Masuk Septictank

Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Syekh Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut.

Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syekh Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian Kepatuhan seorang santri kepada Kiainya.

Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Ia menerima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada Sang Guru.

Selain itu, saat Syekh Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya.

Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: "Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu."

KH. Wahab Chasbullah

Kiai Wahab Chasbullah - Tambak Beras, Jombang: Dianggap Macan

Pada suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena tidak lama lagi akan ada macan masuk ke pondok.

Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.

Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.

Begitu sampai di depan rumah Syekh Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syekh Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya “Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok.

Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren.

Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Syekh Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Syekh Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin.

Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang diprediksi oleh Syekh Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan” NU.

KH. As’ad

Kiai As’ad - Asembagus, Situbondo: Uang Barakah

Ketika Kiai As’ad masih menjadi santri Syekh Kholil, ia pernah disuruh mengantarkan tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang. Di lain hari ia disuruh mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim juga. Syekh Kholil hanya memberikan bekal beberapa uang logam. Ketika Kiai As’ad naik bus atau kereta, bolak-balik kondektur tidak menagih tiket kepadanya, demikian pula ketika akan menyeberangi Selat Madura, seseorang tiba-tiba mengajaknya naik ke kapal bersamanya secara cuma-cuma. Setelah turun dari kapal, beliau kembali ditawari naik kendaraan ke Jombang, beliau menerima tawaran ini dengan rasa syukur. Kiai As’ad yakin hal ini karena doa dan barakah dari sang guru melalui uang logam yang diberikan Syekh Kholil.

KH. Bahar Sidogiri

Kiai Bahar - Sidogiri, Pasuruan: Mimpi Basah

Pada suatu pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah karena tidak bisa salat subuh berjamaah. Bahar absen salat jamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Pasalnya, semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar, sebab wanita itu adalah istri Syekh Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Syekh Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap, "Santri kurang ajar! santri kurang ajar!" Para santri yang sudah ke masjid untuk salat berjamaah merasa heran dan bertanya-tanya siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Subuh itu Bahar memang tidak ikut salat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai salat subuh berjamaah, Syekh Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya, “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.

Kemudian Syekh Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan, Bahar dibawa ke masjid. Syekh Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata, "Bahar, karena kamu tidak hadir salat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini". Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus walau kesulitan.

Setelah itu Syekh Kholil memerintahkan Bahar untuk memakan nasi yang ada di nampan sampai habis. Sekali lagi Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Syekh Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, ia lalu disuruh makan buah-buahan yang telah tersedia di nampan lain sampai habis.

Setelah itu Bahar diusir oleh Syekh Kholil seraya berucap dan menunjuk Bahar, "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini". Dengan perasaan senang dan mantap, Bahar pun pulang meninggalkan pesantren Syekh Kholil menuju kampung halamannya, hingga akhirnya ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri keenam.

Jasa dan Karya Beliau

Jasa-jasa Beliau

1.            Beliau sering disebut sebagai maha guru. Hampir banyak kyai atau ulama Nusantara pernah menimba ilmu kepada beliau. Seperti halnya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; pendiri dan pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Abdul Karim (Mbah Manab); pendiri dan pengasuh pondok pesantren Lirboyo, KH Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), dan masih banyak lagi murid-murid KH. M. Kholil Bangkalan. Bahkan konon katanya Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya (hal.51-53 dalam buku yang berjudul “KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1820-1923).

2.            Syaikhona Muhammad Kholil yang berasal dari Bangkalan, Madura, dinilai menjadi salah satu ulama besar yang penting dalam perlawanan melawan kolonialisme dan konstruksi Islam Nusantara. Eksistensi serta kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, hingga politik dianggap sangat berpengaruh dan positif keberlanjutannya.

3.            Melalui pendidikan, Kiai Kholil menggembleng para santri untuk menjadi ulama cendekiawan yang pejuang. Beliau juga menjadi salah satu penentu berdirinya salah satu organisasi Islam keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), terangnya.

Karya-karya Beliau

1.            Al-Matnu as-Syarif (Panduan fikih ibadah), selesai pada hari Rabu 17 Raja 1299 H. cetakan Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir, tahun 1934 M. / 1353 H. No. 550, ditashih dan di terjemah dg makna jawa pegon oleh KH. Ahmad Qusyairi bin Shidiq Pasuruan. Dan juga dicetak oleh Maktabah Kholid bin Ahmad bin Nabhan Surabaya, di terjemah dg makna pegon berbahasa madura oleh KHR Abdul Majid Tamim, di tulis oleh Habib Idrus bin Hasan al-Khirid pada tahun 1409 H.

2.            As-Silah fi Bayan al-Nikah (panduan nikah), disalin oleh KH. Ahmad Qusyairi bin Shidiq Pasuruan. (Manuskrip), dan di cetak di surabaya.

3.            Rotib Syaikhona Kholil, disebarkan dalam bentuk selebaran oleh KH. Kholil bin KH. Moh Yasin Kepang pada tahun 28/9/1404 H. dan di cetak ulang oleh Lajnah Turots Ilmy Syaikhona Muhammad Kholil pada tahun 2019 dan 2020.

4.            Isti’dad al-Maut (panduan fikih jenazah), bertahun 3 Dz. Qa’dah 1309 H. Disalin dan dicetak oleh Lajnah Turots pada tahun 2019 M.

5.            Taqrirat Nuzhah Thullab (Kaedah I’rob, gramatika arab), bertahun 1315 H. Disalin dan dicetak oleh Lajnah Turots pada tahun 2019 M.

6.            Al-Bina’ Dhimna Tadrib wa Mumārasah (ilmu sharaf), bertahun 3/10/1309 H. Disalin dan dicetak oleh Lajnah Turots pada tahun 2020 M.

7.            Taqrirat Matn al-Izzi (ilmu sharaf), bertahun 1309 H. Disalin dan dicetak oleh Lajnah Turots pada tahun 2020.

8.            Tafsir al-Khalil (Terjemah lengkap Al-Qur’an dg makna Jawa pegon dan catatan pinggir), bertahun 1320 H.

9.            Muktasahar Fiqh Ibadah, lengkap dengan makna Jawa pegon, bertahun 13 Ramadhan 1308 H.

10.          Buku Khutbah (memuat satu khutbah Jum’at, dan dua khutbah untuk dua hari raya), bertahun Jum’at 19 Ramadhan 1323 H.

11.          Buku Dzikir dan Wiridan, bertahun Ramadhan 1323 H.

12.          Al-‘Awāmil, makna pego Jawa dan taqrir (Nahwu tingkat dasar), bertahun 1309 H.

13.          Taqrirat Matn al-Ajurrumiyah dan makna pego Jawa (Nahwu tingkat dasar), bertahun 1309 H.

14.          Taqrirat Alfiyah dan makna pego Jawa (nahwu tingkat lanjutan), bertahun Malam Senin Dz. Qa’dah 1311 H. (Ditemukan di Dzurriyah KH. Rawi Mancengan Bangkalan).

15.          Taqrirat Alfiyah dan makna pego Jawa, bertahun 3 Ramadhan 1314 H. (Ditemukan di Dzurriyah KH. Nawawi Mlonggo Jepara).

16.          Jauharah al-Tauhid dan makna pego Jawa (ilmu tauhid).

17.          Bad-u al-Amāli dan makna pego Jawa.

18.          Kitab Wasiat bi Taqwa Allah, dan makna pego Jawa, bertahun 1308 H.

19.          Maulid al-Barzanji dan makna.

20.          Qashidah Hubbi li Sayyidana Muhammad dan makna, bertahun 1309 H.

21.          Taqrirat Nazham al-Jazariyyah (ilmu tajwid), bertahun 1314 H.

Kisah Teladan

Santri yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Cholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Cholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Cholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Cholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi Santri Mbah Cholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Di samping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).

Kemandirian Mbah Cholil muda juga nampak ketika beliau berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Cholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Menabung untuk Menuntut lmu ke Mekkah

Kyai Cholil muda adalah sosok pemuda yang mandiri. Pada saat itu, dirinya ingin melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah, Arab Saudi. Tetapi tidak ingin meminta biayanya kepada orang tua. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kiai Cholil sebelum berangkat ke Mekah terlebih dahulu ngaji di pondok pesantren Banyuwangi. Di pondok tersebut, beliau juga bekerja di kebun pengasuh pondok. Dengan bekerja di kebun sebagai pemetik buah kelapa, beliau di bayar 2,5 sen setiap pohon kelapa. Dengan penghasilan tersebut, uang yang didapatkannya di tabung untuk biaya menuntut ilmu ke Mekah. Selain itu, untuk makan sehari-hari, beliau menjadi khodim di dalem pondok pesantren dengan mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan yang lain. selain itu, Kiai Cholil juga menjadi juru masak bagi teman-temannya, dengan seperti itu dirinya bisa mendapatkan makan dengan gratis.

Karomah

Berikut adalah karamah yang dengan kehendak Allah SWT, yang dimiliki oleh Syekh Kholil al-Bangkalani:

Ke Mekkah Naik Kerocok

Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Syekh Kholil ditemani oleh KH. Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Pulau Jawa dan Madura.

Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa saking asyik berdiskusi matahari hampir terbenam. Padahal mereka belum melaksanakan shalat Asar, sementara waktunya hampir habis sehingga tidak mungkin melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk.

Akhirnya Syekh Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air) untuk dipakai perjalanan menuju Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Syekh Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepat menuju Makkah. Sesampainya di Makkah, azan asar baru saja dikumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Syekh Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram.

Mengobati Anak Pecandu Gula

Dikisahkan oleh KH. Abdullah Syamsul Arifin, ketua PCNU Jember, terdapat seorang warga yang mempunyai anak dengan kelainan hobi mengonsumsi gula berlebih, bahkan setiap hari anak tersebut bisa menghabiskan sekian kilo gula pasir. Akhirnya ayah anak itu nyabis (sowan) ke Syekh Kholil Bangkalan.

Di hadapan Syekh Kholil ia mengeluh soal kebiasaan anaknya menyantap gula. Ia berharap agar sang Syekh berkenan menyembuhkan penyakit yang mendera anaknya. Namun Syekh Kholil malah menjawab permohonan si ayah dengan menyuruhnya datang kembali satu minggu kemudian.

Tamu tersebut pamit, namun sejak saat itu kebiasaan si anak semakin menjadi-jadi dan semakin banyak gula yang dihabiskan setiap hari, dimakan begitu saja. Sang ayah tetap memenuhi perintah Syekh Kholil untuk datang kembali ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah pertemuan yang kedua, anak tersebut berhenti total mengonsumsi gula.

Konon, selama seminggu Syekh Kholil bertirakat. Tidak makan makanan atau minuman yang berbahan gula pasir. Pesannya sederhana, jika ingin menyuruh sesuatu maka harus mengerjakannya dulu. Kalau ingin melarang sesuatu terhadap orang lain maka yang bersangkutan dahulu yang wajib memberi contoh jika ingin larangannya dipatuhi.

Tertawa Keras saat Shalat

Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Syekh Kholil muda mencari ilmu, ia tertawa cukup keras. Setelah selesai salat sang kiai menegur Syekh Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam.

Ternyata Syekh Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya. Akhirnya ia menjawab hal yang menyebabkannya tertawa keras, bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah "berkat" (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai.

Mendengar jawaban tersebut sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung dia merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri yang mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.

Ditangkap lalu Dibebaskan oleh Belanda

Syekh Kholil pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat perlawanan terhadap kolonial di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Syekh Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri.

Tetapi ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan karena terjadi hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Syekh Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Syekh Kholil untuk dibebaskan.

Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Cholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Cholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Cholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Cholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Cholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini. 

Sumber rujukan : 

https://www.syaichona.net/2019/11/26/biografi-syaikhona-kholil-mbah-kholil-bangkalan/
https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/01/21/biografi-kh-kholil-bangkalan-madura-syaikhona-mbah-kholil/
https://turots.id/
https://www.ayosemarang.com/
www.pastiaswaja.org
https://www.laduni.id/post/read/49527/biografi-syekh-kholil-bangkalan

0 komentar:

Posting Komentar