KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Masa Kecil
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Riwayat Hidup dan Keluarga
Lahir
KH. Abdul Mu’thi atau yang biasa dipanggil dengan sapaan KH. Abdul Hamid Pasuruan lahir pada tahun 1333 H atau 1915 M di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang, di tengah kota kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya. Dul memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal.
KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau menuturkan bahwa Dul adalah anak yang nakalnya luar biasa. Tapi kenakalan Dul tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Dul adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang.
Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahnya, KH. Abdullah Umar tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali.
Akhirnya, ayahnya mengirim Dul untuk mengaji kepada KH. Ma’shum dan KH. Baidhawi. Ketika mulai beranjak remaja (ABG), beliau mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian).
Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. KH. Zaki Ubaid Pasuruan menuturkan bahwa Dul sampai bisa menangkap babi jadi-jadian.
Meski begitu, sejak kecil beliau sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Dul bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Riwayat Keluarga
Setelah 12 tahun belajar di Pondok Pesantren Tremas, KH. Abdul Hamid dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nyai Nafisah. Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil KH. Abdul Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut.
KH. Abdul Hamid menikah dengan Nyai Nafisah pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas duhur pukul 1.00 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan.
Setelah jam dan waktu sudah ditentukan, namun rombongan penganten pria tak kunjung datang hingga jam menunjuk pukul 2.00. Akhirnya, para tamu undangan dialihkan untuk acara walimah terlebih dahulu di rumah KH. Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah. Tapi sayangnya, hingga jam 3, rombongan pengantin tidak kunjung datang juga. Akhirnya satu persatu tamu undangan meninggal tempat acara.
Setelah menunggu sangat lama, akhirnya pada waktu sore sekitar jam 4, rombongan penganten pria baru datang. Kepala romobongan, Kiai Ma’shum mengatakan “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali)”.
Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan. Sejak itu, KH. Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian,KH. Abdul Hamid pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini KH. Abdul Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, KH. Abdul Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha. Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren.
Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri dua orang yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Wafat
KH. Abdul Hamid, sama seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Pada Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah.
Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un. Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam.
Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Yogyakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
Mengembara Menuntut Ilmu
Pada usia sekitar 12-13 tahun, KH. Abdul Hamid dikirim ayahandanya ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Di pondok tersebut Hamid hanya mengeyam pendidikannya satu setengah tahun, kemudian beliau pindah ke Pondok Tremas, Pacitan, Pondok yang di asuh oleh KH. Dimyathi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Beliau tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Guru-Guru Beliau
Guru-guru beliau ketika menuntut Ilmu pesantren adalah:
- KH. Ma’shum
- KH. Baidhawi
- KH Cholil Harun Kasingan
- KH. Dimyathi
Menjadi Pengasuh Pesantren
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
KH. Abdul Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat. Hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru. Akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Berkat perkembangan pondok pesantren yang di asuh oleh beliau, akhirnya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar.
Penerus Beliau
Putera dan puteri Beliau
Putera-puteri beliau yang menjadi penerus saat ini adalah:
- KH. Nu'man Hamid
- KH. Nasikh Hamid
- KH. Idris. Hamid
Murid-murid Beliau
Murid-murid beliau yang menjadi santri:
- Para santri di pesantren Salafiyah
- Prof. Dr. Mukti Ali
Karier Beliau
Pengasuh Pesantren
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh)
Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar
pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Lain
halnya dengan para tokoh ulama atau kyai lainnya yang terlibat dalam organisasi
baik NU maupun Muhammadiyah, KH. Abdul Hamid
Pasuruan adalah sosok kiai yang tidak mau terlibat dalam organisasi apapun,
sehingga beliau tidak begitu dikenal di pentas nasional khususnya dalam
percaturan politik.
Inilah tokoh yang berada di belakang layar. Meski tak pernah tampil di
organisasi, beliau didengar nasihatnya oleh kalangan teras NU, baik di pusat
maupun di daerah. Beliau adalah sosok yang lebih mementingkan pendidikan para
santri di pondoknya serta pembinaan masyarakat pada umumnya, baik di bidang
ilmu maupun amal- dengan ujar-ujarnya yang lirih tapi efektif, dengan
keteladanannya, dengan pancaran kesalehan pribadinya. Beliau, seperti
halnya para wali lainnya, adalah tiang penyangga moral masyarakat.
Teladan Beliau
Ketawadhu'an KH. Abdul Hamid
KH. Abdul Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang). Ketika KH. Abdul Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi.
Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, KH. Abdul Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu.
Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu' itu. Beliau memang rendah hati (tawadu). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan.
Kiai Hasan Abdillah pernah mengatakan, “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok”. Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan.
Mantan Menteri Agama dan juga junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas, Prof. Dr. Mukti Ali, pernah mengatakan, “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya.”
Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekkah, bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia. Sikap tawadu itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau.
Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.”
Kesederhanaan Beliau
Kesederhanaan K.H. Abdul Hamid Pasuruan ketika berbuka puasa hanya dengan memakan satu buah telur setengah matang, kurma, dan kopi. Beliau makan setelah shalat isya hal tersebut yang selalu diperaktikkan oleh santri beliau Kiai Ihsan Malang.
Beliau juga dikenal ulama yang istiqomah dalam menjalankan ibadah shalat berjamaah dan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap minggu. Beliau memulai membaca Al Qur’an ketika hari kamis siang mulai dan Khatam pada hari Kamis depan diceritakan oleh dzuriah beliau gus Amak. Selain itu beliau juga memiliki istiqomah amalan Al Fatihah 100 kali yang diceritakan salah satu santri Kh Abdul Hamid yang mendapatkan ijajah langsung.
Syair K.H Abdul Hamid Pasuruan tentang amalan membaca Al Fatihah sebanyak 100 kali yang artinya:
“Barang siapa yang melanggengkan atau istiqomah membaca Al Fatihah sebanyak 100 kali maka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang itu tersembunyi.”
Karomah Beliau
Membongkar Kewalian KH. Abdul Hamid
Sebelum menjadi kiai, semasa beliau mondok di Termas,KH. Abdul Hamid banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, beliau pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa beliau sedang berkhalwat.
Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, KH. Abdul Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya.
Lambat laun, aktifitas suluk KH. Abdul Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, KH. Abdul Hamid semakin jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai, kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar.
Salah satu karomah KH. Abdul Hamid yang dipercaya warga Pasuruan adalah bisa berada ditempat lain dengan wujud serupa. Hal ini terjadi saat Habib Baqir Mauladdawilah bertandang ke pesantrennya. Sang Habib yang pernah berguru dengan al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih diberikan ilmu untuk bisa melihat sesuatu yang gaib.
Pada suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui KH. Abdul Hamid. Ketika itu di tempat KH. Abdul Hamid banyak sekali orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang lain. Setelah bertemu Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti KH. Abdul Hamid sejatinya bukanlah sang Kiai . Karena yang ditemuinya adalah sesosok gaib yang menyerupai beliau. Kemudian Habib Baqir mencari dimanakah sebetulnya KH. Abdul Hamid yang asli berada.
Setelah diselidiki dengan ilmu kanuragan Habib Baqir terkejut karena sang kiai tersebut tengah berada di Tanah Suci Mekkah. Karomah KH. Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan terhadap seorang Habib sepuh yang datang kepadanya, karena sang Habib menanyakan kemana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya.
KH. Abdul Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tersebut. Seketika itu kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah. Subhanallah, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh KH. Abdul Hamid mendatangi Masjidil Haram.
Merubah Daun jadi Uang
Salah satu karomah lainnya yaitu ketika Asmawi, salah seorang santrinya harus melunasi utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo. Besarnya Rp300.000, cukup besar untuk ukuran waktu sekitar tahun 70-an.
Dia tidak tahu dan mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Karenanya, dia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada KH. Abdul Hamid.
Kemudian dengan lembut sang Kiai yang lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah Pak Kiai. Di sana ada dua pohon kelengkeng. “Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” kata KH. Abdul Hamid. Setelah menerima daun-daun kelengkeng itu, KH. Abdul Hamid memasukkannya ke dalam saku baju. Ketika ditarik keluar, di tangannya tergenggam uang kertas. Kemudian dia menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya.
Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Rp225.000. Masih kurang Rp75.000. Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai Rp75.000 kepada KH. Abdul Hamid, lalu uang itu diserahkan ke Asmawi.
Menguji Kewalian Beliau
Lain lagi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya. Dia justru seolah ingin menguji kewalian KH. Abdul Hamid yang telah kesohor. Said Ahmad ingin tahu, apakah Kiai tahu bahwa dia ingin diberi makan olehnya. Ketika sampai di pesantren milik sang kiai, kebetulan saat salat lsya sudah masuk, dia pun ikut salat berjamaah.
Usai salat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jamaah pulang semua. Lampu teras rumah KH. Abdul Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah siap-siap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak diketahui.
Lalu dia pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Ternyata dari rumah KH. Abdul Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, dia pun mendekatinya. Ternyata tuan rumah sendiri yang memanggilnya. “Makan di sini ya,” kata KH. Abdul Hamid sambil senyum. Dia pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji. “Maaf, lauknya seadanya,” kata Kiai santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang, sih.” Said tersindir. Dan sejak itu dia percaya, KH. Abdul Hamid adalah wali.
Meminta Nomor Togel
Suatu ketika ada seseorang meminta nomer togel ke KH. Abdul Hamid. Oleh KH. Abdul Hamid diberi dengan syarat jika dapat togel maka uangnya harus dibawa kehadapan KH. Abdul Hamid. Maka orang tersebut benar-benar memasang nomer pemberian KH. Abdul Hamid dan menang. Saran ditaati uang dibawa kehadapan KH. Abdul Hamid. Oleh kiai uang tersebut dimasukan ke dalam bejana dan disuruh melihat apa isinya. Terlihat isinya darah dan belatung. KH. Abdul Hamid berkata “tegakah saudara memberi makan anak istri saudara dengan darah dan belatung?” Orang tersebut menangis dan bertobat.
Karya
KH Abdul Hamid Pasuruan atau yang lebih dikenal (Mbah Hamid) dijiluki sebagai Abdul Juman (kitab sastra Arab atau kitab Balaghoh yang sangat sulit untuk dipahami) beliau justru sangat menguasai kitab tersebut, dibuktikan dengan beliau mengarang Kitab Nadzom Sullam Taufiq yang mana nadzomannya ini mendapat pujian dari K.H Sahal Mahfud.
Kitab Nadzom Sullam Taufiq karya K.H Abdul Hamid Pasuruan tersebut berisikan tiga bahasan pokok yaitu: Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf.
Dalam sumber lain dijelaskan mengenai biografi KH Abdul Hamid sebagai berikut:
Lasem merupakan wilayah di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di Lasem cukup banyak orang dari bangsa China yang sukses berdagang. Selain itu, banyak juga dari Lasem lahir tokoh-tokoh ulama kharismatik, salah satunya KH Abdul Hamid. KH Abdul Hamid atau lebih dikenal Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat beragama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kiai Shiddiq.
Masa Kecil Berdasarkan buku KH Hasyim As’ari dan KH Abdul Hamid Bapak NU Kita karangan Abdullah Shodiq dan Percik-Percik Keteladanan KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, disebutkan nama kecil KH Abdul Hamid adalah Abdul Mu'ti atau dipanggil Dul. Ia adalah anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Nyai Raihannah. Mu'thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tembuh sebagai anak yang lincah, extrovert dan nakal. Meskipun begitu, Mu'thi rajin membantu orang tuanya. Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu'thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya.
Mu'thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu'thi bersih dari sifat sombong. Pada saat itu di Lasem memiliki ulama besar yang disegani masyarakat, yakni Kiai Ma'shum (Mbah Ma'shum), Kiai Baidhowi, dan Kiai Muhammad Siddiq.
Masa Pendidikan Pada usia tujuh tahun, Mu'thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur'an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari. Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kiai Muhammad Shidiq (Mbah Siddiq) di Jember, Jawa Timur.
Dikisahkan, pada saat Mu'thi berada di rumah kakeknya (Mbah Shiddiq) tiba-tiba datanglah Rasulullah SAW dan saat itu ia sedang bersama kakeknya. Rasulullah SAW bertanya kepada Mbah Shiddiq, "Siapakah anak ini?" Mbah Shiddiq menjawab "Ini cucu saya." Kira-kira dua tahun kemudian, Rasulullah SAW datang kembali dan berpesan kepada Mbah Shiddiq supaya cucunya yang bernama Abdul Hamid diajak pergi haji. Kala itu, Abdul Hamid berusia 15 tahun, diajak Mbah Shiddiq menunaikan ibadah haji. Konon ketika ziarah ke makam Rasulullah SAW mereka bertemu muka dengan Rasulullah SAW dan sempat bersalaman. Keduanya juga mencium tangan Rasulullah SAW, bukan dalam keadaan tidur. Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Hamid melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Tremas yang didirikan oleh Kiai Manan. Pada saat itu Pesantren Tremas diasuh oleh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan.
Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kiai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap. Lima tahun di sana, ia ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kiai Abdul Ghofur Pasuruan, Kiai Harun Banyuwangi, dan Kiai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kiai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya, setidaknya tidak perlu makan nasi tiwul.
Adapun perubahan nama Abdul Mu'thi menjadi Abdul Hamid dalam hal ini ada dua versi. Menurut buku karya Hamid Ahmad disebutkan, "Begini orang-orang itu banyak yang memanggilku Haji Hamid atau Kiai Hamid daripada orang-orang keliru lebih baik aku saja yang ngalah namaku diubah menjadi Hamid. Namun, tidak jelas kapan nama itu berubah," kata Kiai Hamis saat wawancara KH Zaki Ubaid. Sedangkan menurut buku karya Abdullah Shodiq nama itu berubah ketika ia mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun. Kiai Hamid Menikah Hamid menikah di usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Kamis 12 September 1940 M. Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul 13.00 WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul 14.00 WIB. Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul 17.00 WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja. "Kok cek telate? (Kok datang telat?)" tanya KH Achmad Qusyairi kepada Mbah Ma'shum selaku pemimpin rombongan dari Lasem. "Anu, takjak (Saya ajak) mampir-mampir ziarah ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat," jawab Mbah Ma'shum. "Lha manten (pengantin) kok diajak ziarah?" ujar KH Akhmad Qusyairi. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab. Dua yang disebut terakhir meninggal sewaktu mereka masih kecil. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan keluarganya dengan tidak mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kiai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilometer ke arah barat Kota Pasuruan. Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan ia sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya)," katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas. Setelah beberapa bulan setelah menikah, Kiai Hamid diperintah oleh KH Ahmad Qusayri menggantikan kedudukannya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan KH Ahmad Qusayri pindah ke Glenmore Banyuwangi, mengajar dan mendirikan pesantren sendiri. Kiai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Ia sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri.
Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, ia masih mengaji kepada Habib Ja'far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah. Menurut beberapa riwayat, sewaktu berada di Pasuruan Kiai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakarah yang diselenggarakan oleh Habib Ja'far bin Syichan pukul 16.30-19.30 WIB. Dalam pengajian tersebut dihadiri oleh para ulama yang spesifik membahas diniyah ini, dipergunakan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali dalam hal ini Kiai Hamid sering ditunjuk oleh Habib Ja'far sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan aplikasi masalah dari beberapa poin kalimat. Berkat kumpul dengan para ulama terutama Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid mulai tampak, meskipun sebelum bertemu Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid sudah ada. Dalam artikel NU Online Jatim, Mengenal Lebih Dekat Sosok Mbah Hamid Pasuruan, diceritakan bahwasnnya KH Abdul Hamid Pergi ke Baghdad setiap tahun. Bermula dari kisah yang dialami langsung oleh Kiai Masyhudi, Sanan Kulon, Blitar, yang diceritakan sekitar tahun 2007 hingga 2008 sebelum wafat. Sebelumnya kisah ini tidak pernah diceritakan ke siapa pun, hal itu atas permintaan Kiai Hamid sendiri ketika masih hidup. Alkisah, di awal tahun 80-an Kiai Masyhudi melaksanakan ibadah haji, pada saat shalat Jumat di Masjidil Haram. Tanpa sengaja berkenalan dengan seorang syekh dari Bagdad yang bernama Syekh Hasan. Mengingat keduanya memang alim dan fasih, perkenalan berbincangan menjadi akrab diliputi kehangatan dalam bahasa Arab. Kejanggalan terjadi saat Kiai Masyhudi mengenalkan bahwa dirinya berasal dari Jawa Timur. Syekh Hasan bertanya yang jika di Indonesiakan kurang lebih begini, "Apakah Anda kenal dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan?" Kiai Masyhudi agak kaget dan balik bertanya: "Beliau itu guru kami yang masyhur kealimannya. Ya Syekh Hasan. Dari mana anda mengenal Kiai Hamid?" Ternyata jawaban Syekh Hasan lebih mengagetkan lagi, yang intinya bahwa ia kenal baik dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan, sebab sang kiai selalu hadir pada acara haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad. Tidak hanya itu, saat di Bagdad Kiai Hamid selalu bermalam di rumah Syekh Hasan ini rutin setiap tahun. Singkat cerita, selepas shalat Jumat sebelum keduanya berpisah, Syekh Hasan mengakhiri percakapannya dengan menitipkan salam kepada Kiai Hamid, yang intinya Syekh Hasan menunggu kedatangan Kiai Hamid pada haul Syekh Abdul Qodir tahun depan di rumahnya di Baghdad.
Sesampainya di Tanah Air, karena amanah titipan salam Syekh Hasan, Kiai Masyhudi sowan langsung kepada Kiai Hamid. Baru sampai di depan rumah, sang tuan rumah langsung keluar mempersilakan Kiai Masyhudi masuk, seolah sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Bahkan Kiai Hamid mendahului menyapa dengan berbisik ke telinga Kiai Masyhudi, "Nak Masyhudi, jangan cerita ke siapa-siapa ya kalau bertemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima, mohon jangan cerita siapa-siapa." Setelah Kiai Hamid wafat, Kiai Masyhudi menyampaikan kisah ini kepada salah satu menantu Kiai Idris (putra Kiai Hamid) agar menanyakan langsung ke Kiai Idris Hamid, apakah dahulu abahnya setiap tahun selalu pergi ke Baghdad? Namun putra Kiai Hamid itu menjelaskan, bahwa abahnya belum pernah pergi jauh ke mana-mana, kecuali pada saat melaksanakan haji. Subhanallah, karamahnya para wali. Memang, dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, M.HI diceritakan karamah Mbah Hamid weruh sakdurunge winarah (Tahu sebelum kejadian). Diceritkan, suatu ketika ada seorang tamu dari luar kota sowan kepada Kiai Hamid. Seperti biasa para tamu memberikan amplop atau uang kepada Kiai Hamid sebagai bentuk penghormatan atau dikenal dengan istilah 'salam templek'. Orang yang sowan ingin memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah kepada Kiai Hamid. Namun, karena terburu-buru, dia belum sempat menukarkan uang sehingga masuk ke ndalem Kiai Hamid dia mempunyai selembar uang 10 ribu rupiah. Rencananya uang 10 ribu rupiah diberikan kepada Kiai Hamid dan sisanya dibuat ongkos pulang ke daerahnya. Dia mencoba menukarkan uang kepada para tamu di sampingnya, tetapi para tamu tidak ada yang mempunyai uang pecahan 10 ribu rupiah. Tiba-tiba Kiai Hamid keluar untuk menemui para tamu, termasuk orang tadi. Semua tamu bergegas sowan dan duduk di depan Kiai Hamid. Setelah selesai semua tamu berpamitan kepada Kiai Hamid, termasuk orang itu. Mungkin karena orang itu gugup selembar uang 20 ribu rupiah langsung diberikan kepada Kiai Hamid. Sebelum orang itu berpaling Kiai Hamid merogoh sakunya, lalu mengatakan kepada orang tersebut, "Ini kembaliannya 10 ribu rupiah." Orang tersebut pun langsung bengong.
Umat Menangis Dalam buku Percik-percik KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, juga disebutkan Mbah Hamid wafat pada hari Sabtu 25 Desember 1982 M tepat pada pukul 03.00 WIB atau dini hari. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 70 tahun dalam hitungan Hijriah. Seorang tokoh besar, tokoh panutan meninggalkan umatnya. Inalilahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kabar pun segera menyebar lewat radio, dari mulut ke mulut, dan dari telepon ke telepon. Kala itu umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tidak percaya Kiai Hamid wafat. Melihat bayaknya pelayat keluarga tidak mau mengambil risiko, khawatir keranda rusak karena bakal jadi rebutan, pelayat. Menjelang ashar keranda di bawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan yang lainnya karena saking padatnya pelayat, sehingga tidak bisa berjalan. Terjadilah tarik menarik keranda yang hendak keluar lewat gerbang barat atau timur. Konon, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam. Dilaporkan jamaah yang menyalati melebar tidak hanya sampai masjid dan alun-alun, tetapi terus ke timur hingga perempatan PLN sekitar 100 meter dan memenuhi jalan niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas jalan Nusantara sepanjang 1 kilometer.
KH Ali Ma’shum bertindak
sebagai imam shalat. Setelah shalat Asar Kiai Hamid disemayamkan di kompleks
makam sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. Posisi makamnya di antara
makam Habib Ja’far bin Syichan Assegaf (guru) KH Achmad Qusyairi (mertua) dan
KH Ahmad Sahal (ipar). Dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi
Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, M.HI di sebutkan bahwasnnya keberadaan
makam Kiai Hamid membawa berkah terhadap kemakmuran masjid dan pedagang di
sekitar makam. Setiap hari makam Kiai Hamid tidak pernah sepi dari peziarah
lokal atau luar kota. Pada umumnya para peziarah Walisongo Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ziarah ke makam
KH Abdul Hamid. Tidak cuma itu, semenjak ada makam KH Abdul Hamid setiap malam
Jumat Legi kawasan sekitar masjid dan alun-alun Kota Pasuruan menjadi ramai.
0 komentar:
Posting Komentar