Seminar Nasional Pasar Modal Syariah

Pemberian Cindramata Kepada Narasumber dari MUI Malang Bapak Drs. KH. Chamzawi M.HI.

Kuliah Tamu Manajemen

Bersama pimpinan manajemen dan pemateri kuliah tamu dengan tema menumbuhkan jiwa wirausaha yang kreatif, inovatif dan mandiri.

Ekonomi Kreatif

Narasumber dalam rangka Turba PCNU Kota Malang Tematik terkait ekonomi kreatif di MWC NU Lowokwaru Ranting Dinoyo

Seminar Nasional

Narasumber Seminar Nasional Economic Outlook, Prospects And Future Of The Indonesian Economy,(Bersama Ketua Komisi C DPRD tk 1 Jatim)di FE UNUSIDA Sidoarjo.

Penyuluhan UMKM

Narasumber Penyuluhan terkait administrasi sederhana UMKM di Desa Sutojayan Kabupaten Malang.

Rabu, 24 April 2019

Shalat di Raudhah Nabi Muhammad SAW

Di kota Madinah, ada banyak tempat yang memiliki fadhilah (keutamaan) apabila seseorang melakukan ibadah di tempat itu. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Raudhah Nabi SAW. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada ribuan, bahkan jutaan orang berusaha untuk melakukan ibadah di sana.

Sebenarnya, apakah Raudhah itu? Keistimewaan apa saja yang dimilikinya, sehingga orang-orang berbondong-bondong untuk mendatangi dan beribadah di tempat itu?

Secara bahasa “raudhah” berarti kebun atau taman. Sedangkan yang dimaksud Raudhah di sini adalah suatu tempat yang berada di antara mimbar dan makam Muhammad SAW. Tempat ini selalu digunakan oleh Nabi SAW untuk melakukan shalat sampai akhir hayat beliau. Nabi SAW bersabda :

عن أبي سعيد الخذري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَا بَيْنَ قَبْرِي وَمِنْبَرِي هَذَا رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجِنَانِ

“Dari Abi Sa’id al-Khurdri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tempat di antara kubur dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) di antara beberapa kebun surga”. (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Karena tempat ini sangat istimewa, maka seorang di sunnahkan untuk selalu beribadah dan shalat di Raudhah Nabi SAW ini. Disebutkan, seorang muslim yang sedang berziarah ke Madinah, selama dia berada di Madinah, seyogyanya selalu melaksanakan shalat lima waktu di masjid Nabi SAW dan berniat i’tikaf setiap dia memasuki masjid Nabi SAW.

Dia juga dianjurkan untuk mendatangi Raudhah guna memperbanyak shalat dan do’a di sana karena ada hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Tempat yang diantara kuburku dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) diantara beberapa kebun surga”. Seseoarang juga dianjurkan untuk berdo’a di depan mimbar Nabi SAW. Sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Mimbarku ini berada di atas telagaku.” (al-Hajj wa al-‘Umrah Fiqhuh wa Asraruh, 237)

Dengan redaksi yang berbeda, al-Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf al-Nawawi dalam kitabnya Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan, dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda, “Mimbarku ini berada di atas telagaku”. Imam al-Khathabi berkata, “Maksud hadist di atas adalah bahwa 'orang yang selalu istiqamah melaksanakan ibadah di depan mimbarku, maka kelak di hari kiamat, ia akan minum air dari telagaku' ”. (al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal ‘Umrah, 456)

Menjadi jelaslah sekarang bahwa kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di Raudhah Nabi SAW. Karena tempat itu memiliki keutamaan yang sangat besar. Namun jangan sampai karena memperebutkan keutamaan ini, kita sampai mengganggu atau menghilangkan hak-hak atau bahkan menyakiti orang lain.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Rais Syuriyah PCNU Jember

Sumber : https://www.nu.or.id/post/read/19764/shalat-di-raudhah-nabi-muhammad-saw

Syarat, Rukun dan Wajib Umroh

Sebelum melaksanakan ibadah umroh ada baiknya untuk mengetahui lebih banyak tentang ibadah ini mengenai syarat, rukun dan wajib umroh. Saya kira banyak yang akan berangkat umroh mencari informasi mengenai hal ini. Semoga ibadah umroh yang akan kita lakukan bisa diterima oleh Alloh dan menjadi Umroh yang mabrur.

Berikut ini penjelasan mengenai ketiganya.

I. Syarat Umroh:
1. Islam
ibadah umroh ini merupakan salah satu ibadah dalam agama islam. Berumrohpun memang bagi orang islam yang mampu, sedangkan bagi orang non muslim tentu saja hal ini tidak disyariatkan.

2. Berakal
Umroh disyariatkan bagi muslim yang berakal sehat. Tidak diperintahkan umroh bagi orang gila dan tidak sah umroh yang dilakukan oleh orang gila.

3. Istitaah
Istitaah artinya mempunyai kemampuan dari segi fisik, biaya maupun keamanan.

4. Baligh
Telah mencapai usia Baligh adalah salah satu rukun umroh. Oleh karena itu anak kecil yang belum baligh tidak disyariatkan melaksanakan umroh.

5. Merdeka.
Bukan dari salah seorang dari hambah sahaya (budak)  karena ibadah umroh ini memerlukan waktu yang panjang yang dikahawatirkan kepentingan tuannya akan terbengkalai.

II. Rukun Umroh
1. ihram. 
memakai pakaian ihram, bagi laki laki adalah terdiri dari 2 lembar kain yang tidak berjahit. 1 helai melilit mulai pinggang sampai bawah lutut. sehelai lagi diselempangkan mulai dari bahu kiri kebawah ketiak kanan. Jamaah umroh laki-laki  tidak boleh mengenakan celana, kemeja, tutup kepala dan juga tidak boleh menutup mata kaki. Penjelasan hal dilarang selama umroh ada di bagian bawah artikel.

Bagi wanita pakaian ihram lebih bebas tetapi disunatkan yang berwarna putih, yang penting menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan mereka, yang penting tidak ada jahitan. Lengan baju mesti sepanjang pergelangan tangan Kerudung yang digunakan harus panjang, tidak jarang serta menutupi bagian Dada Baju, gaun atau rok harus sepanjang Tumit Memakai Kaos kaki Sepatu sebaiknya tidak bertumit dan terbuat dari karet.

2.Tawaf
adalah mengelilingi Baitulloh/kabah 7 kali

3.Sai.
Sai dilakukan dari sudut shafa menuju Marwah (dihitung satu kali) dan dari Marwah kembali ke Shafa dihitung satu kali.

Semuanya dilakukan tujuh kali putaran. Sai berawal dari shafa dan akan terakhir di marwah.

4.. Tahalul. Tahalul artinya bercukur sebagian dari rambut di kepala. biasanya dikerjakan setelah selesai sai, tanda bahawa kita telah sempurna melakukan umroh.

5.Tertib

III. Wajib Umroh
1. Ihram (Niat Ihram dari Miqot)
2. Meninggalkan yang dilarang dalam ihram sah
3.  Melaksanakan Tawaf Wada.

Tawaf wada adalah tawaf perpisahan sebelum kembali ke tanah air. Setelah Tawaf Wada kita dilarang kembali ke Masjidil Haram dan Kabah. Oleh karena itu biasanya Tawaf wada dilaksanakan dini hari setelah tahajud kemudian bisa dilanjutkan sholat subuh berjamaah. Setelah itu jamaah umroh bisa berkemas perlengkapan umrohnya untuk pulang ke tanah air.

Penjelasan point no 2 tentang meninggalkan yang dilarang dalam ihrom, berikut ini larangan ihrom bagi jamaah umroh:

Bagi laki-laki:
1. Berpakaian yang berjahit
2. Memakai sepatu yang menutupi mata kaki
3. Menutup kepala yang sifatnya melekat di kepala seperti topi (payung diperbolehkan)
Bagi wanita:
1. Berkaus tangan (menutuptelapak tangan)
2. Menutup muka (bercadar)

Bagi laki-laki dan wanita:
1. Memakai wangi-wangian (kecuali yang dipakai sebelum ihrom dan sudah kering sebelum berpakaian ihrom)
2. Memotong kuku dan bercukur atau mencabut bulu badan
3. Memburu atau menganggu atau membunuh hewan dengan cara apapun
4.  Memotong atau merusak pepohonan tanah haram
5. Meminang, menikah atau menikahkan serta bersaksi
6.  Bercumbu atau berjimak suami isytri
7. Mencaci, bertengkar atau mengucapkan kata-kata kotor

Sumber  : http://tatacaraumroh.net

Pengertian Sa’i dan Proses Melaksanakan Sa’i

Apabila telah melaksanakan thawaf, hendaknya keluar melalui Bab (pintu) Ash-Shafa, menuju bukit Shafa lalu menaiki beberapa anak tangganya.[i]

Diriwayatkan bahwa, “Rasulullah Saw. menaiki bukit Shafa sehingga dapat melihat Ka’bah.”

Meskipun demikian, sa’I cukup dimulai dari kaki bukit. Menaikinya lebih dari itu merupakan sesuatu yang mustahab (dianjurkan).[ii]

Pengertian Sa’I

Sa’i ialah berjalan dari buki Safa ke bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak tujuh kali yang berakhir di bukit Marwah.[iii] Perjalanan dari bukit Safa ke bukit Marwah dihitung satu kali dan juga dari bukit Marwah ke bukit Safa dihitung satu kali.

Proses Melaksanakan Sa’I

Pada mulanya, hendaknya sa’I dimulai dengan langkah-langkah biasa, sampai dekat dengan tanda pertama berwarna hijau, kira-kira sejauh enam hasta. Dari tempat itu, hendaknya jamaah haji mempercepat langkah atau berlari-lari kecil sehingga sampai di tanda hijau yang kedua, kemudian dari sana berjalan kembali dengan langkah-langkah biasa.

Apabila telah sampai di bukit Marwah, hendaknya menaiki bukit Marwah seperti yang dilakukan ketika di bukit Safa. Setelah itu menghadap ke arah Shafa dan berdoa seperti sebelumnya. Dengan demikian, jamaah haji telah selesai melakukan satu kali lintasan sa’i. jika telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Begitulah selanjutnya sampai tujuh kali lintasan.

Dengan selesainya tujuh kali lintasan itu, maka jamaah haji telah menyelesaikan dua hal, yakni thawaf qudum dan sa’i. [iv]

Jika jamaah haji memulai sa’Inya dari Marwah, sa’I dianggap sah akan tetapi harus menambah satu perjalanan lagi sehingga berakhir di Marwah.[v] Bagi jamaah haji yang sakit boleh menggunakan kursi roda.

Adapun persyaratan bersuci dari hadats besar maupun kecil ketika mengerjakan sa’I, hukumnya mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib seperti dalam mengerjakan thawaf.[vi]

Hikmah Sa’i

Ritual sa’I ini merupakan napak tilas dari upaya yang dilakukan Hajar untuk mencarikan air bagi putranya Ismail yang kehausan.[vii] Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan sa’I ini diantaranya, bolak-baliknya jamaah haji antara bukit Shafa dan Marwah di halaman Ka’bah, menyerupai perbuatan seorang hamba yang berjalan pulang pergi secara berulang-ulang di halaman rumah sang Raja. Hal itu dilakukannya demi menunjukkan kesetiaannya dalam berkhidmat, seraya mengharap agar dirinya memperoleh perhatian yang disertai kasih sayang.[viii]

Daftar Pustaka :
[i] Al-Ghazali. Rahasia Haji dan Umrah. (Bandung: Karisma, 1997). hlm. 65.
[ii]  Ibid.
[iii] Tri May Hadi.  Kumpulan Doa, Dzikir, dan Tanya Jawab untuk Ibadah Haji dan Umrah. (Jakarta: Kesaint Blanc, 2009). hlm. 140.
[iv] Al-Ghazali. Op.Cit. hlm. 67-68.
[v] Tri May Hadi. Op.Cit. hlm. 141.
[vi] Al-Ghazali. Op.Cit. hlm. 68.
[vii] Maisarah Zas. Haji dan Pencerahan Jati Diri Muslim. (Bandung: Alfabeta, 2005). hlm. 163.
[viii] Al-Ghazali. Op.Cit. hlm. 136-137.
Sumber : http://www.berhaji.com

Penjelasan Lengkap Seputar Tawaf

Saudara-saudara seiman, di bulan Zulhijjah ini kami mengucapkan selamat menunaikan ibadah haji bagi mereka yang melaksanakan. Sebagaimana kita maklumi bersama, tawaf adalah ibadah mengelilingi Ka‘bah sebanyak 7 kali putaran sebagaimana tertuang dalam ayat Al-Qur’an.

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ [الحج: 29

Artinya, “Hendaknya mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah),” (Surat Al-Hajj ayat 29).

Syarat Tawaf
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika melakukan tawaf, Musthafa Said Al-Khin dan Musthafa Diyeb Al-Bugha dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syafi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, halaman 396 menjelaskan syarat-syarat tersebut.

1. Melaksanakan semua syarat sah shalat, yaitu suci, niat, menutup aurat, dan lain-lain, kecuali dalam tawaf, kita masih diperkenankan berkomunikasi dengan orang lain, sebagaimana hadits Nabi.

الطواف بالبيت صلاة إلا أن الله تعالى أباح فيه الكلام

Artinya, “Tawaf mengelilingi Baitullah itu sama seperti shalat, hanya saja, Allah memperbolehkan berbicara di dalam tawaf.”

2. Pundak kiri lurus terus ke arah kiblat, tidak menoleh ke arah lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i (Damaskus: Darul Qalam, 1992), juz I, halaman 403.

وقال في الجديد يجب أن يحاذيه بجميع البدن لأن ما وجب فيه محاذاة البيت وجبت محاذاته بجميع البدن كالاستقبال في الصلاة

Artinya, “Imam Syafi’i dalam pendapat terbaru berkata, ‘Wajib menolehkan sekujur badan, karena yang diwajibkan dalam hal ini adalah menolehkan badan ke arah Baitullah, maka wajib menolehkannya sekujur badan sebagaimana kewajiban menghadap Ka‘bah dalam shalat.’”

3. Putaran berlawanan arah jarum jam, dan dimulai dari titik hajar aswad

4. Putaran dilakukan sebanyak 7 kali.

Jenis Tawaf
Selanjutnya, dalam tawaf, kita mengenal ada jenis tawaf yang hukum dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda, yakni,

1. Tawaf Qudum (tawaf kedatangan), yakni tawaf yang dilakukan oleh pelaksana haji ifrad atau qarin saat memasuki Mekkah, sebelum melaksanakan wuquf. Bagi pelaksana haji tamattu’, tawaf ini tercakup ke dalam tawaf umrah. Hukum melaksanakan tawaf qudum ini ialah wajib sehingga jika tidak dilaksanakan, maka wajib membayar dam.

2. Tawaf Ifadhah. Tawaf ini merupakan rukun haji sehingga jika tidak dilaksanakan akan dapat membatalkan haji. Waktu pelaksanaan tawaf ini, yang utama ialah pada tanggal 10 Dzulhijjah sesudah melempar jumrah aqabah dan tahallul. Sedangkan waktu lainnya ialah sesudah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, atau sesudah terbitnya fajar di tanggal 10 Dzulhijjah, atau sesudah keluarnya matahari di tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada batasan waktu untuk akhir pelaksanaan tawaf ini, tetapi sebaiknya dilaksanakan sebelum berakhirnya hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

3. Tawaf Wada’ (tawaf perpisahan). Tawaf ini dilaksanakan sebelum jamaah haji meninggalkan kota Mekkah. Hukumnya wajib.

Selebihnya, bagi siapa saja yang menginginkan untuk melaksanakan tawaf, maka hukumnya adalah sunah sepanjang waktu.

Kesunahan dalam Tawaf
Pada saat melaksanakan tawaf, kita disunahkan melakukan hal-hal berikut.

1. Sebaiknya tawaf dilakukan dengan berjalan kaki, kecuali bagi mereka yang lemah.

2. Mencium hajar aswad, atau isyarat mencium hajar aswad setiap kali melintasinya.

3. Berjalan cepat saat putaran 1-3 dan berjalan biasa saat putaran 4-7.

4. Shalat sunah dua rakaat sesudah tawaf di belakang makam Ibrahim.

Demikian penjelasan singkat tawaf pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. (Muhammad Ibnu Sahroji)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/80831/ini-penjelasan-lengkap-seputar-tawaf

PENGERTIAN THAWAF DAN KETENTUANNYA

Thawaf adalah salah satu amalan yang menentukan sah tidaknya amalan ibadah haji atau umroh seseorang. Karena thawaf merupakan salah satu rukun haji, yang mana apabila ditinggalkan maka ibadah haji atau umroh yang dilakukannya tidak sah. Thawaf dalam ibadah haji atau umroh dilakukan dengan cara mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. Ketika seseorang hendak melakukan thawaf, ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti. Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan ketika thawaf:

Berniat Untuk Melaksanakan Thawaf

Niat adalah salah satu amalan hati yang akan menentukan diterimanya amalan atau ibadah seseorang. Begitu juga dengan thawaf, haruslah diiringi dengan niat. Rosulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Artinya:

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” [HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu].
Orang yang Hendak Berthawaf Diwajibkan untuk Mengelilingi Ka’bah

Orang yang sedang melaksanakan thawaf diharuskan untuk mengelilingi Ka’bah, sebagaimana Firman Allah SWT:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Artinya:

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29).

Thawah dilakukan dengan cara mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist berikut ini:

Rosulullah SAW bersabda,

وَسَمِعْتُهُ، يَقُولُ: «مَنْ طَافَ بِهَذَا البَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ

Artinya:

Dan saya mendengar Nabi shallahualaihiwasallam bersabda : “Barangsiapa thawaf di Ka’bah tujuh kali dan menyempurnakannya (memperhatikan syarat dan adabnya) ,maka pahalanya adalah seperti membebaskan budak.” [HR. Tirmidzi No.959. Dishahihkan oleh al-Albani].
Thawaf Dimulai dan Diakhiri di Hajar Aswad

Ketika seseorang hendak memulai thawaf , haruslah dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ ، يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ أَوَّلَ مَا يَطُوفُ يَخُبُّ ثَلاثَةَ أَطْوَافٍ مِنَ السَّبْعِ (البخاري ومسلم)

Artinya:

“Dari Salim dari Bapaknya ra, ia berkata: Aku melihat Rasulallah saw tatkala tiba di Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menyalaminya. Dan pertama thawaf beliau lari-lari kecil tiga kali dari tujuh kali putaran.” (HR Bukhari Muslim).
Posisi Ka’bah Berada Disebelah Kiri Orang yang Berthawaf

Ketika jamaah haji hendak melakukan thawaf, posisi Ka’bah haruslah berada disebelah kiri orang yang bertawaf. Rosulullah SAW bersabda:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَاسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ مَضَى عَلَى يَمِينِهِ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا (مسلم)

Artinya:

“Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di Mekkah, masuk ke masjid lalu beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menyalaminya, kemudian berjalan di sebelah kanannya, lalu beliau lari-lari kecil tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran.” (HR Muslim).
Orang yang Hendak Berthawaf Harus Suci dari Hadast dan Najis

Ketika seseorang hendak melakukan thawaf haruslah suci dari hadast, baik itu hadast besar maupun hadast kecil, sebagaimana ketika kita hendak melakukan ibadah sholat. Rosulullah SAW bersabda:

(عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا إِنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه الشيخان

Artinya:

“Dari Aisyah ra, dia mengatakan sesungguhnya hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw ketika tiba di Mekah adalah berwudhu kemudian thawaf di baitullah.” (HR Bukhari Muslim).

Begitu juga dengan badan, tempat, dan pakaian harus bersih dari najis. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:

عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إلَّا أَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ فِيهِ الْكَلَامَ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ فَلَا يَتَكَلَّمُ إلَّا بِخَيْرِ

Artinya:

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Thawaf adalah seperti shalat, hanya Allah memperbolehkan berbicara di dalamnya. Maka barang siapa berbicara maka janganlah berbicara kecuali dengan pembicaraan yang baik. (HR Tirmidzi dan Daroqutni).


Orang yang Hendak Berthawaf Harus Menutup Aurat

Ketika hendak melakukan thawaf, semua jamaah haji diharuskan memakai pakaian yang menutup aurat mereka. Aurat laki-laki adalah anggota badan mulai dari lutut sampai pusar. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Rosulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعَثَهُ في الحَجَّةِ الَّتي أَمَّرَهُ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا قَبْلَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَوْمَ النَّحْرِ في رَهْطٍ يُؤَذِّنُ في النَّاسِ لا يحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

Artinya:

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah mengutusnya pada waktu haji yang telah diperintahkan Rasulullah saw sebelum haji wada’, pada hari Nahar (tanggal 10 Dzhul Hijjah) bersama sejumlah sahabat untuk menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: agar tidak boleh ada orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan telanjang bulat di Baitullah.” (HR Bukhari Muslim)

Sumber : http://infohaji.co.id/pengertian-thawaf/

Larangan-larangan dalam Ibadah Haji

Jamaah haji dilarang melakukan beberapa hal ketika ia memasuki ihram. Apa yang seharusnya boleh dilakukan di luar ihram menjadi haram selama jamaah haji dalam keadaan ihram. Jamaah haji yang melanggar larangan tersebut kan terkena sanksi yang berkaitan dengan ibadah hajinya.

Syekh Abu Syuja dalam Taqrib menyebut sepuluh hal yang menjadi larangan sepanjang seseorang menunaikan ibadah haji di tanah suci. Semua larangan ini memiliki konsekuensi bila dilanggar oleh jamaah haji yang bersangkutan.

فصل ويحرم على المحرم عشرة أشياء لبس المخيط وتغطية الرأس من الرجل والوجه من المرأة  وترجيل الشعر وحلقه وتقليم الأظفار والطيب وقتل الصيد وعقد النكاح والوطء والمباشرة بشهوة

Artinya, “Pasal. Jamaah haji yang sedang ihram haram melakukan sepuluh hal: mengenakan pakaian berjahit, menutup kepala bagi laki-laki, menutup wajah bagi perempuan, mengurai rambut, mencukur rambut, memotong kuku, mengenakan wewangian, membunuh binatang buruan, melangsungkan akad nikah, dan berhubungan badan. Demikian juga dengan bermesraan dengan syahwat.”

Namun demikian, pandangan Abu Syuja diberi catatan oleh para ulama Syafiiyah sesudahnya. KH Afifuddin Muhajir mendokumentasikan catatan verifikasi para ulama Syafiiyah tersebut. Menurutnya, sebagian larangan haji yang disampaikan Syekh Abu Syuja masuk ke dalam makruh, bukan larangan haji.

وترجيل) أي تسريح (الشعر) وهذا ضعيف والمعتمد أنه مكروه

Artinya, “(Mengurai) melepas (rambut). Pendapat ini lemah. Pendapat yang muktamad menyatakan bahwa hokum mengurai rambut adalah makruh bagi jamaah haji yang sedang ihram,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 92).

Sedangkan Syekh Nawawi Banten menerangkan kelonggaran perihal larangan potong kuku dan rambut atau bulu yang keberadaannya cukup “mengganggu”. Ia menerangkan bahwa potong kuku atau potong sedikit rambut yang menghalangi mata dibolehkan tanpa konsekuensi sanksi.

والخامس  تقليم الأظفار أي إزالتها من يد أو رجل بتقليم أو غيره إلا إذا انكسر بعض ظفر المحرم وتأذى به فله إزالة المنكسر فقط) ولا فدية عليه وكذلك إذا طلع الشعر في العين وتأذى به فله إزالته

Artinya, “(Kelima memotong kuku. Maksudnya, menghilangkan kuku tangan dan kuku kaki dengan cara memotong atau cara lainnya. Tetapi , jika sebagian kuku jamaah haji yang sedang ihram tersebut terbelah dan ia menjadi sakit (terganggu) karenanya, maka ia boleh memotongnya) dan tidak perlu membayar fidyah. Demikian halnya dengan kemunculan rambut atau bulu di mata, dan ia menjadi terganggu karenanya, maka ia boleh mengguntingnya,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, halaman 125).

Meskipun terdapat pengecualian, secara umum semua larangan ini mengandung konsekuensi. Pelanggaran terhadap larangan ini secara umum mengharuskan jamaah haji untuk membayar fidyah baik berupa kambing, puasa, atau sanksi lainnya.

Pelanggaran terberat adalah hubungan seksual yang berdampak pada kerusakan ibadah haji seorang jamaah di tahun tersebut dengan kewajiban meneruskan rangkaian ibadah hajinya hingga selesai, dan kewajiban mengqadhanya pada tahun selanjutnya.

وفي جميع ذلك الفدية إلا عقد النكاح فإنه لا ينعقد ولا يفسده إلا الوطء في الفرج ولا يخرج منه بالفساد في فاسده

Artinya, “Semua larangan itu (jika dilanggar) terdapat sanksi fidyah kecuali akad nikah, maka nikahnya tidak sah. Tidak ada yang merusak haji kecuali larangan hubungan badan melalui kemaluan. Jamaah haji yang melakukan hubungan badan tidak boleh keluar dari rangkaian ibadah haji karena telah rusak ibadahnya (tetapi menyelesaikannya hingga selesai).

Jadi larangan-larangan haji menurut pendapat ulama Syafi’iyah yang muktamad adalah sebagai berikut:
1. Mengenakan pakaian berjahit
2. Menutup kepala bagi laki-laki,
3. Menutup wajah bagi perempuan
4. Mencukur rambut atau bulu,
5. Memotong kuku,
6. Mengenakan wewangian,
7. Membunuh binatang buruan,
8. Melangsungkan akad nikah,
9. Berhubungan badan.
10.Bermesraan dengan syahwat. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Sumber  : http://www.nu.or.id/post/read/94474/ini-larangan-larangan-dalam-ibadah-haji

Cara Niat Ibadah Haji

Niat menduduki posisi penting dalam setiap ibadah, baik shalat, puasa, maupun haji. Niat menjadi pembeda antara satu ibadah dan ibadah lain. Shalat zuhur misalnya, dari sisi pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan shalat ashar, yaitu empat raka’at dan bacaannya juga sama. Selain waktu pelaksanaan, shalat dzuhur dan ashar dibedakan berdasarkan niat.

Sebab itu, calon jamaah haji penting mengetahui niat haji sebagai rukun pertama dalam ibadah haji. Niat haji sering diistilahkan dengan ihram. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan,


فالإحرام هو النية بالقلب وهي قصد الدخول في الحج أو العمرة

Artinya, “Ihram ialah niat dalam hati, yaitu niat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah.”

Menurut Imam An-Nawawi, niat haji harus dimantapkan di dalam hati, dilafalkan, dan diiringi dengan lafal talbiyah. Ia menjelaskan,

ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه فَيَقُولُ بِقَلْبِهِ وَلِسَانِهِ نَوَيْتُ الْحَجَّ وَأَحْرَمْت بِهِ لِلَّهِ تَعَالَى لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغي له

Artinya, “Orang yang ingin ihram harus berniat dalam hati, melafalkan niat, dan bertalbiyah. Hendaklah ia mengatakan dalam hatinya sembari dilafalkan, ‘nawaitul hajja wa ahramtu bihi lillahi ta’ala, labbaik allahumma labbaik, aku niat haji dan berihram karena Allah SWT, aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah’, hingga akhir lafal talbiyah. Ini termasuk niat yang paling sempurna.”

Perlu diingat bahwa niat mesti dimantapkan dalam hati terlebih dahulu sembari dilafalkan. Niat tidak sempurna bila hanya dilafalkan tanpa dibatinkan dalam hati. Menurut Imam An-Nawawi, orang yang hanya melafalkan niat haji tanpa mengucapkan dalam hati, ihramnya tidak sah.

Sebaliknya, orang yang tidak melafalkan niat, tetapi mengucapkannya dalam hati, ihramnya tetap sah, karena pada hakikatnya niat itu dalam hati.

Adapun pelafalan niat untuk memantapkan apa yang sudah tertanam di dalam hati. Sebab itu, melafalkan niat dalam ibadah disunahkan. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/80386/cara-niat-ibadah-haji

Ibadah Haji dan Ibadah Umrah Wajib Seumur Hidup Sekali

Kita semua sudah memaklumi kewajiban haji sekali sumur hidup. Haji adalah ibadah wajib yang menjadi rukun Islam kelima. Orang yang sudah mampu mengadakan perjalanan ke baitulllahil haram terkena kewajiban menurut syariat.

Pada Surat Ali Imran ayat 97, Allah berfirman sebagai berikut:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,” (Ali Imran ayat 97).

Namun demikian, ibadah umrah juga wajib hukumnya seumur hidup sekali sebagaimana kewajiban haji.

وَلَا يَجِبَانِ بِأَصْلِ الشَّرْعِ غير مَرَّة

Artinya, “Ibadah haji dan umrah menurut dasar syariat tidak wajib kecuali sekali dalam seumur hidup,” (Lihat Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Buysral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 501).

Ibadah umrah wajib ini biasanya dilakukan “berbarengan” dengan ibadah haji wajib. Mereka–yang mampu–yang belum pernah berhaji dan berumrah wajib menunaikan keduanya.

وهما على من لم يؤد نسكه بشرطه فرضان

Artinya, “Hukum ibadah haji dan umrah bagi orang yang belum melaksanan sesuai ketentuannya adalah wajib,” (Lihat Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Buysral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 501).

Ulama Mazhab Syafi’i mendasarkan kewajiban umrah seumur hidup sekali pada hadits shahih riwayat Aisyah RA. Meskipun keduanya hampir serupa, keduanya tidak bisa saling menggantikan. Keduanya tidak bisa disamakan dengan kasus mandi dan wudhu dalam konteks bersuci.

وأما العمرة فِعلى الْأَظْهَرِ لما صَحَّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ قَالَ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ وَلَا يُغْنِي عَنْهَا الْحَجُّ؛ لِأَنَّ كُلًّا أَصْلٌ برأسه لختلاف ميقاتهما زَمَانًا ومكانا فَلَا يُشْكِلُ بِإِجْزَاءِ الْغُسْلِ عَنْ الْوُضُوءِ لبناء الطهارة على التداخل؛ لِأَنَّ كُلَّ مَا قُصِدَ من الْوُضُوء مَوْجُودٌ فِي الْغُسْلِ

Artinya, “Umrah sendiri menurut pendapat paling kuat adalah wajib sebagaimana riwayat shahih dari Aisyah RA. Ia bertanya kepada Rasulullah, ‘Apakah ada kewajiban jihad bagi perempuan?’ ‘Jihad tanpa peperangan, yaitu haji dan umrah,’ jawab Rasulullah SAW. Haji saja tidak memadai tanpa umrah karena tiap-tiap satu dari keduanya asalnya adalah sama, berbeda miqatnya baik waktu dan tempatnya. Masalah ini tidak musykil karena mandi memadai itu tanpa wudhu karena hal bersuci tumpang tindih karena apa yang menjadi tujuan wudhu terdapat pada mandi,” (Lihat Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Buysral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], juz II, halaman 501). Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/94432/selain-haji-ibadah-umrah-juga-wajib-seumur-hidup-sekali

Kamis, 04 April 2019

Waktu Utama Baca Al-Qur’an

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW berkata, “Bacalah Al-Qur’an karena kelak ia akan memberikan syafa’at kepada orang yang membacanya,” (HR. Muslim). Ini adalah satu dari sekian banyak dalil tentang keutamaan membaca Al-Qur’an.

Rasulullah SAW menamsilkan orang Islam yang membaca Al-Qur’an dengan buah jeruk yang rasanya enak dan harum. Sementara orang Islam yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma yang rasanya manis tetapi tidak wangi, (HR. Ibnu Hibban).

Seperti halnya shalat, baca Al-Qur’an juga memiliki waktu-waktu tertentu yang sangat dianjurkan membacanya. Menurut An-Nawawi, waktu yang paling utama ialah ketika shalat.

Adapun di luar shalat, waktu utamanya adalah pada paruh kedua di malam hari, setelah shalat subuh, dan antara maghrib dan isya. Berikut perincian An-Nawawi dalam al-Adzkar,

وأما القراءة في غير الصلاة، فأفضلها قراءة الليل، والنصف الأخير منه أفضل من الأول، والقراءة  بين المغرب والعشاء محبوبة، وأما قراءة النهار فأفضلها ماكان بعد صلاة الصبح، ولا كراهة في القراءة  في وقت من الأوقات، ولا في أوقات النهي عن الصلاة

Artinya, “Adapun waktu utama baca Al-Qur’an di luar shalat ialah pada malam hari. Paruh kedua malam lebih utama dibanding paruh pertama. Disunahkan juga membacanya ketika selang waktu maghrib dan isya. Sementara waktu siang, yang dianjurkan ialah ketika usai shalat subuh. Pada prinsipnya, kapan pun baca Al-Qur’an diperbolehkan. Tidak ada kemakruhan untuk baca Al-Quran kapan saja. Bahkan baca al-Qur’an di waktu yang dimakruhkan shalat sekali pun tetap diperbolehkan.”

Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa terdapat waktu utama baca Al-Qur’an baik pada siang maupun malam hari. Pada waktu siang hari, yang sangat dianjurkan ialah setelah shalat shubuh.

Adapun malam hari, paruh kedua malam lebih diutamakan. Andaikan khawatir tidak terjaga di malam hari, usai shalat magrib menjelang isya juga waktu yang sangat baik digunakan untuk baca Al-Qur’an.

Namun perlu diperhatikan, tidak ada waktu larangan dan makruh baca Al-Qur’an. Jadi kapan pun waktunya diperbolehkan untuk membacanya. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/65873/waktu-utama-baca-al-quran

Ayat Al-Qur'an yang Membuat Rasulullah Menangis

Abdullah bin Mas’ud termasuk orang dari generasi sahabat yang memiliki kedekatan cukup intim dengan Rasulullah. Ia menjadi khadim (pelayan) yang loyal dan sering mengikuti ke mana Nabi pergi, membawakan keperluan beliau, bahkan dalam kesempatan tertentu ia diizinkan masuk ke kamar pribadi Nabi. Di antara berkah dari hubungan dekat ini, Abdullah bin Mas’ud menyerap banyak ilmu dan keteladanan dari manusia suci itu, yang di kemudian hari melambungkan namanya sebagai sahabat yang sangat mengerti Al-Qur’an.

Contoh dari kedekatan hubungan tersebut adalah kisah Rasulullah yang pernah meminta Abdullah bin Mas’ud membacakan untuknya ayat-ayat Al-Qur’an. Terang saja Abdullah merasa heran.

“Wahai Rasulullah! Apakah (layak) saya membacakan Al-Qur’an untukmu sementara ia diturunkan kepadamu?”

“Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku,” timpal Baginda Nabi.

Abdullah pun mengabulkan permintaan Rasulullah dengan membacakan Surat an-Nisa’ dengan fasih. Namun, Baginda Nabi tiba-tiba memintanya berhenti ketika Abdullah sampai pada ayat:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا

“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang yang durhaka nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS an-Nisa’: 41)

Jleb! Abdullah bin Mas’ud berhenti membaca. Ia menoleh ke wajah Rasulullah dan menyaksikan air mata meleleh dari kedua pelupuk mata utusan Allah itu. Demikian cerita yang bisa kita baca dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Hadits tersebut menunjukkan betapa rendah hatinya Rasulullah, sebagai penerima wahyu mau mendengarkan untaian bacaan dari lisan pelayannya. Peristiwa ini juga mengajarkan bahwa orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an tak lebih buruk dari orang yang membacanya. Bahkan, karena fokus menghayati isi bacaan, si pendengar bisa lebih meresapi dan menangkap pesan inti Al-Qur’an.

Ayat 41 dari Surat an-Nisa’ itu menjelaskan tentang posisi Nabi Muhammad yang kelak di akhirat menjadi saksi bagi umatnya yang durhaka. Tangisan Rasulullah menjadi penanda akan lembutnya hati beliau yang tak sampai hati umatnya bakal menerima penderitaan—meski akibat ulah mereka sendiri. Di ayat berikutnya diungkapkan bahwa mereka yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya meminta agar ditenggelamkan ke dalam bumi.

Menurut Tafsir al-Baidlâwi, mereka ingin diratakan dengan tanah selayaknya orang mati. Atau diciptakan saja seperti tanah yang tak memiliki tanggung jawab perbuatan. Mungkin maksudnya untuk menghindari siksaan. Padahal, walâ yaktumûnaLlâha hadîtsân (mereka tidak dapat menyembunyikan kejadian apa pun dari Allah). (Mahbib)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/75505/ayat-al-quran-yang-membuat-rasulullah-menangis

Menghafal atau Membaca Mushaf Al-Qur’an yang Lebih Utama?

Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah. Nabi menyebutkan bahwa pembacanya mendapat sepuluh kebaikan untuk setiap hurufnya. Al-Qur’an pun menjadi kitab suci yang dihafal, terlebih untuk ibadah shalat karena setidaknya seorang Muslim perlu menghafal surat al-Fatihah dan beberapa surat pendek untuk menambah keutamaan shalat.

Menghafal Al-Qur’an hingga 30 juz tentu sebuah kemuliaan. Dengan menghafal Al-Qur’an, seorang Muslim diharapkan lebih memahami pesan keagamaan di dalamnya. Selain itu, banyak sekali hadis Nabi maupun petuah ulama yang menyebutkan bahwa menghafalkan Al-Qur’an mendapat suatu kelebihan dibanding yang tidak menghafalkan.

Terlepas dari semua itu, manakah yang lebih mulia, membacanya dengan cara hafalan atau bil ghaib, atau dengan cara melihat mushaf yang populer disebut bin nazhar?

Imam Jalaludin As Suyuthi mencatat tentang hal ini dalam kitabnya al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân. Sebagai satu kitab populer dalam kajian ilmu Al-Qur’an, Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa tujuan membaca Al-Qur’an yang paling utama itu adalah memahami dan men-tadabburi (merenungi) maknanya. Moco Al-Qur’an angen-angen sak maknane, sebagaimana dalam syair populer Tombo Ati.

Tentu saja bagi penghafal ataupun pembaca Al-Qur’an dengan mushaf, hal ini patut diperhatikan. Imam As Suyuthi lebih mengutamakan membaca secara bin nazhar daripada bil ghaib. Dengan membaca mushaf, menurut Imam As-Suyuthi, seseorang bisa memerhatikan betul huruf-huruf yang ada, sehingga tujuan tadabbur dan memahami makna Al-Qur’an ini bisa tercapai.

الْقِرَاءَةُ فِي الْمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ لِأَنَّ النَّظَرَ فِيهِ عِبَادَةٌ مَطْلُوبَةٌ.

“Membaca Al-Qur’an di mushaf itu lebih utama dari membacanya secara hafalan karena ketika melihatnya terdapat nilai ibadah tersendiri yang dicari.”

Kendati begitu, Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkâr memberikan jalan tengah bahwa keutamaan membaca mushaf secara langsung atau secara hafalan tergantung masing-masing personal.

وَلَوْ قِيلَ إِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ فَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ فِيهِ لِمَنِ اسْتَوَى خُشُوعُهُ وَتَدَبُّرُهُ فِي حَالَتَيِ الْقِرَاءَةِ فِيهِ وَمِنَ الْحِفْظِ وَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ مِنَ الْحِفْظِ لِمَنْ يَكْمُلُ بِذَلِكَ خُشُوعُهُ وَيَزِيدُ عَلَى خُشُوعِهِ وَتَدَبُّرِهِ لَوْ قَرَأَ مِنَ الْمُصْحَفِ لَكَانَ هَذَا قَوْلًا حَسَنًا.

“Bagi orang yang menyatakan bahwa keutamaan cara membaca itu berbeda tergantung tiap orang, maka hendaknya orang yang mengetahui bahwa ia akan lebih khusyuk dan mudah bertadabbur dengan membaca mushaf secara langsung. Bagi yang membaca Al-Qur’an secara hafalan, dan lebih sempurna khusyuk dan tadabbur-nya, maka hendaknya membaca secara hafalan. Tapi jika orang yang menghafal ini membaca mushaf secara langsung, maka itu juga termasuk sesuatu yang baik.

Dari keterangan di atas, tentu hal yang penting adalah merutinkan membaca Al-Qur’an. Hafalan atau bin nazhar, tergantung dari kemampuan dan kesempatan masing-masing. Setelah bisa membaca, tentu seseorang berusaha semampunya dan sesempatnya, untuk mempelajari maknanya. Semoga Al-Qur’an menjadi penolong kita kelak. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/83325/menghafal-atau-membaca-mushaf-al-quran-yang-lebih-utama