Seminar Nasional Pasar Modal Syariah

Pemberian Cindramata Kepada Narasumber dari MUI Malang Bapak Drs. KH. Chamzawi M.HI.

Kuliah Tamu Manajemen

Bersama pimpinan manajemen dan pemateri kuliah tamu dengan tema menumbuhkan jiwa wirausaha yang kreatif, inovatif dan mandiri.

Ekonomi Kreatif

Narasumber dalam rangka Turba PCNU Kota Malang Tematik terkait ekonomi kreatif di MWC NU Lowokwaru Ranting Dinoyo

Seminar Nasional

Narasumber Seminar Nasional Economic Outlook, Prospects And Future Of The Indonesian Economy,(Bersama Ketua Komisi C DPRD tk 1 Jatim)di FE UNUSIDA Sidoarjo.

Penyuluhan UMKM

Narasumber Penyuluhan terkait administrasi sederhana UMKM di Desa Sutojayan Kabupaten Malang.

Minggu, 30 Januari 2022

Meneladani Perjuangan Tokoh Ulama' Pendiri NU (Kemandirian dalam Berkhidmat Untuk Peradaban Dunia) Harlah NU ke 96 Nahdlatul Ulama

Pentingnya meneladani perjuangan para Tokoh Ulama’ pendiri NU dalam rangka memperingati Hari Lahir Nahdlatul Ulama’ yang ke 96 pada tanggal 31 Januari 2022. Dalam hal ini kita sebagai santri NU dan Masyarakat NU maupun secara keseluruhan tentunya kita harus memahami bahwa apa yang sudah kita rasakan saat ini adalah sebagai hasil dari para perjuangan Tokoh Ulama’ Nahdlatul Ulama’ yang tentunya perlu kita syukuri. Dimana perlu kita renungkan beberapa perjuangan dari para Tokoh Ulama’ yang memiliki kontribusi yang luar biasa bagi Bangsa dan Negara Indonesia tercinta ini. Perjuangan para Ulama’ terdahulu yang bisa memberikan semangat perjuangan yang semestinya kita semua lakukan dan teruskan perjuangannya dalam segala aspek sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Sangat banyak perjuangan yang dicontohkan oleh para ulama’ terdahulu dalam memperjuangkan Negara dan Bangsa Indonesia, tentunya dalam hal ini sudah semestinya kita semua melanjutkan perjuangan beliau semua, dengan Meneladani Perjuangan Tokoh Ulama' Pendiri NU sebagai refleksi diri kita dalam Harlah NU ke 96 Nahdlatul Ulama dengan tema Kemandirian dalam Berkhidmat Untuk Peradaban Dunia, yang mana memiliki makna yang semakin luas bahwa perjuangan tidak hanya ada di dalam Negeri melainkan juga memberikan contoh kepada peradaban Dunia dengan nilai-nilai yang baik yang bisa diterima oleh seluruh kalangan, saling menghormati, menghargai dan mengajarkan kebaikan untuk semua. Semoga kita semua bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mencoba menengok sejarah tentang kisah perjuangan Tokoh Ulama’ NU sebagai berikut:

KH.M. Hasyim Asy’ari

Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama’

Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, Harta benda yang berlimpah-limpah, Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.

Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Dalam Refrensi lain dituliskan bahwa peran sosok Kiai Hasyim dan arti kehadiran beliau bagi bangsa ini antara lain :

Menggembleng Hizbullah dan Sabilillah

Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak bisa dipisahkan dari peran para pejuang Muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Dalam masa 1943-1945, hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar dan barisan-barisan guna merengkuh kemerdekaan Tanah Air.

Dari sekian banyak laskar, Laskar Hizbullah dan Sabilillah merupakan yang paling tersohor kala itu. Laskar Hizbullah (Tentara Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, tepatnya 8 Desember 1944. Laskar ini terdiri dari para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh daerah di Indonesia.

Awal mula didirikannya Laskar Hizbullah adalah untuk menjadi kekuatan cadangan dari pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Sebab kala itu, Jepang, yang telah memberi restu pada tokoh-tokoh Muslim untuk membentuk kekuatan militer, sedang terdesak akibat berkonfrontasi dengan sekutu.

Kiai Hasyim Asy’ari yang saat itu menjadi pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) telah menjadi pioner utama penyemangat para pejuang kelaskaran. Bahkan beliau sendirilah yang memberikan wejangan dan penggemblengan kepada para pejuang laskar.

Setiap malam mereka digembleng di Pesantren Tebuireng dengan diberikan amalan-amalan, doa-doa, wirid-wirid, sampai ritual pemberangkatan yang sangat sakral. Bagi kaum pesantren barokah kiai macam Kiai Hasyim tentu merupakan motivasi yang besar.

Selain dilatih kemiliteran, Laskar Hizbullah juga dibekali pendidikan kerohanian oleh para kiai. Setelah mendapat pelatihan militer yang cukup, anggota Laskar Hizbullah kembali ke tempat masing-masing.

Di tempat mereka membentuk satuan militer. Tak kalah pula, para kiai-kiai pesantren pun membentuk satuan militer yang disebut Sabilillah. Mereka inilah yang berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari sekutu, termasuk pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.

Sebelum dikirim ke medan pertempuran, para punggawa Laskar Hizbullah, khususnya di wilayah Jawa Timur, dididik langsung oleh Hadratussyaikh. Istilah yang dipakai adalah penggemblengan. Kiai Abu Bakar Diwek Jombang, dalam kesaksiannya soal penggemblengan itu, ada doa-doa khusus yang diberikan Kiai Hasyim, seperti wirid dan hizb.

Namun, sayangnya beliau enggan memberitahu kami bacaan itu. Dari tangan-tangan hangat Kiai Hasyim muncullah para pejuang hebat dan militan, di antaranya Kiai Munasir Mojokerto, Kiai Yusuf Hasyim (putra beliau), dan Kiai Ahyat Chalimi Mojokerto. Ketiganya adalah tiga serangkai pimpinan Laskar Hizbullah Jombang dan Mojokerto dalam pertempuran melawan sekutu di Surabaya dan sekitarnya.

Ada juga Kiai Hasyim Latief, paman Emha Ainun Najib, Kiai Nawawi Mojokerto, Kiai Masykur Malang, dan masih banyak lagi kiai-kiai muda saat itu yang menjadi komandan handal.

Mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad

Para pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh militer, seperti Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman meminta saran-saran kepada para kiai. Mereka datang untuk meminta pendapat, nasihat, bahkan fatwa tentang perjuangan melawan penjajah.

Sebelum keputusan soal Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim para 17 September 1945 beliau mengeluarkan fatwa jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.

Pada 21-22 Oktober 1945 PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

Isinya adalah menyeru kepada bahwa wajib hukumannya berjuang mempertahankan NKRI. Yang gugur dalam medan perang dianggap sebagai syahid fi sabilillah.

Dalam redaksi yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam bukunya “Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya (2016)”  bahkan lebih rinci lagi. “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”.

Peristiwa ini memang terjadi pasca 17 Agustus 1945, tetapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini menjadi tonggak keberlangsungan bangsa.

Sangat mungkin berbeda jika yang terjadi, Sekutu datang, kita kalah dalam peperangan, tanpa perlawanan, akan menjadi negara boneka, ataupun masih jadi persemakmuran. Artinya tidak sepenuhnya berdaulat, walau telah dinyatakan merdeka.

Taktik Dakwah Memanfaatkan Jepang

KH. Salahuddin Wahid dalam sebuah kesempatan pernah menjelaskan, bahwa saat dijajah Jepang, warga Indonesia banyak memberikan ruang bagi tokoh-tokoh Islam. Bahkan dibentuk badan yang mengurusi keagamaan atau Shumubu yang diminta jadi ketua yaitu KH. Hasyim Asy’ari, tapi sehari-hari yang mengurusinya yaitu putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim.

Karena Kiai Hasyim memilih menjaga santrinya untuk membacakan kitab dan ngaji ilmu agama di Tebuireng. Kemudian dari sini banyak muncul tokoh Islam dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Itu terjadi pada tahun 1943-1944. Dan kedekatan dengan Jepang ini membuat lahir Laskar Hizbullah dan Pembela Tanah Air (Peta) yang dilatih oleh Jepang.

Ini juga merupakan bentuk ruang-ruang yang disediakan oleh Jepang untuk orang-orang Indonesia atas lobi sejumlah tokoh. KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, dan Supriadi memilih bekerja sama dengan Jepang. Ternyata tidak semua tokoh bangsa saat itu, setuju, salah satunya, yaitu Sutan Sjahrir.

Bahkan ia pernah menyebut mereka bertiga sebagai Anjing-anjing Jepang. Ia tidak tahu padahal ini hanya taktik dakwah. Gus Sholah menyebut hal itu mirip seperti mubalig zaman awal kedatangan Islam, yang tak mungkin frontal melawan Jepang, justru memanfaatkan ruang yang disediakan.

Kelihaian dakwah Kiai Hasyim dan Kiai Wahid terus berlanjut dengan adanya Masyumi sebagai pemersatu Umat Islam Indonesia saat itu. Tokoh-tokoh masyumi sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya pada jalur politik dan diplomatis.

Politik memanfaatkan dengan dalih kerjasama oleh tokoh-tokoh ini terbukti memberikan jalan mulus bagi kemerdekaan Indonesia. Bayangkan jika tidak ada piranti-piranti bentukan Jepang itu, tentu akan semakin susah untuk mendapatkan kemerdekaan.

Membesarkan Hati Umat Islam soal Dasar Negara

Kemudian dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari badan ini lah mulai muncul usulan dasar negara yaitu Pancasila dan Islam. Bung Karno sempat menangis meminta seluruh anggota BPUPKI untuk menerima Pancasila. Karena ada jalan buntu antara nasionalis dan Islam. Baru 17 Agustus 1945 kemerdekaan diproklamirkan.

Pertentangan dasar negara ini sangat tajam, akhirnya dibentuk panitia sembilan. Ada Bung Karno, Bung Hatta, H. Agus Salim, Abikusno, Kahar Mudzakir. AA. Maramis, A. Soebardjo, M. Yamin, dan KH. Wahid Hasyim.

Panitia ini menghasilkan piagam Jakarta yang kita kenal hingga kini, yang kemudian kita kenal sekarang Pancasila. Dari situ, kita melihat, umat Islam mengalah dengan keadaan. Mereka melihat jika perdebatan terus dilakukan akan terjadi konflik yang besar.

Kiai Hasyim, melalui Kiai Wahid pun melihat itu. Sampai pada penghapusan tujuh kata sila pertama “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”, pun umat Islam menunjukkan kebesaran hati menerima sebagai mayoritas di NKRI.

Tangan-tangan strategi dakwah yang dilakukan Kiai Wahid tak bisa lepas dari bisikan dan saran dari ayahandanya Kiai Hasyim. Sebuah sikap yang tepat di masa genting, yang diharuskan cepat dalam merumuskan dasar negara, agar segera dapat merdeka.

Maka untuk sekarang ini, jangan mempertanyakan kesetiaan umat Islam kepada NKRI. Dari dulu mereka sudah menunjukkan jiwa ksatria menerima bangsa ini sebagai “rumah” mereka.

KH Wahab Hasbullah

Abdul Wahab Chasbullah atau yang biasa dipanggil dengan Mbah Wahab lahir di kota Jombang, pada tanggal 31 Maret 1888. Beliau merupakan putra pasangan KH. Hasbullah Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, dengan Nyai Latifah. KH. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah KH. Hasyim Asy’ari pada Kiai Abdus Salam bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sumbu bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir.

Sosok Kyai Wahab Hasbullah ini merupakan tipikal santri muda dan ulama yang bercita-cita tinggi. Sejak kecil KH. Abdul Wahab Hasbullah menghabiskan masa pendidikannya di pondok pesantren. Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecil K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Kyai Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya selama 20 tahun.

Di antara pesantren yang pernah disinggahi Mbah Wahab Hasbullah adalah Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari, Nganjuk, Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari, Sepanjang, Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan KH. Kholil Bangkalan, Pesantren Branggahan, Kediri, Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Selain di tanah Jawa, K.H. Abdul Wahab Hasbullah juga memperluas pencarian ilmunya hingga ke tanah Arab. di Tanah Suci Mekkah inilah beliau belajar kepada Syekh Mahfud Tremas, Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Bakiq al-Jugjawi, Kiai Muhtarom Banyumas, Kyai Asy’ari Bawean, dan Syekh Said Al-Yamani.

Meskipun jauh di negeri orang dan masa belajar, Kyai Wahab memiliki perhatian besar terhadap kondisi tanah airnya Indonesia yang masih dalam jajahan Belanda. Sembari menimba ilmu ke berbagai ulama beliau juga menjadi anggota Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Selepas pulang menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah, Kyai Wahab tidak langsung menetap di Tembakberas. Beliau memilih tinggal di Surabaya. Di situlah beliau bergaul dengan berbagai kalangan.

Pada tahun 1914, ketika K.H. Abdul Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia, beliau bersama Mas Mansoer medirikan madrasah. Hingga tahun 1941 beliau juga kerap mendirikan Tashwirul Afkar yaitu suatu kelompok diskusi dan sebuah wadah perdebatan yang bukan hanya tentang agama, akan tetapi juga mengenai persoalan-persoalan nasional. Selain mendirikan Tashwirul Afkar, beliau juga kerap mendirikan Nahdlatut Tujjar hingga Nahdlatul Wathan di Surabaya. Selain bertujuan untuk mengusir belenggu penjajahan Belanda, dari organisasi Nahdlatul Wathan inilah, K.H. Abdul Wahab Hasbullah telah berhasil mendirikan beberapa madrasah atau sekolah di berbagai daerah, antara lain, Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo, Madrasah Far’oel Wathan di Gresik, Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya.

Tidak hanya bergiat dalam dunia pendidikan, sosok K.H. Abdul Wahab Hasbullah ini juga merupakan tokoh yang sangat peduli dengan perkembangan masyarakat, Pada tahun 1926 misalnya, saat pergerakan tanah air tengah masih terjajah Belanda, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya seperti K.H. Bisri Syansuri dan K.H. Hasyim Asyari memprakassai berdirinya Nahdlatul ulama atau NU atau kebangkitan ulama. Lewat NU, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama K.H. Hasyim Asyari dan ulama lain tak hanya berperan besar dalam mengorganisir dan menyetukan umat islam. Dalam perkembangannya kemudian, NU juga ikut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan nasional.

Selain mendirikan gerakan Pemuda Asnor yang lahir dari Rahim Nahdhatul Ulama, pada masa penjajahan Belanda, NU tidak terlibat dalam kegiatan politik dikarenakan misi awal pendirian NU bukan sebagai partai politik. Namun campur tangan Belanda terhadap bidang keagamaan, tidak dapat dibiarkan begitu saja, akhirnya tindakan Belanda ini menuai respon dari berbagai ulama dan organisasi Islam. Karena hal itu KH. Abdul Wahab Hasbullah memprakasai membentuk sebuah kerangka kelembagaan untuk menyatukan komunikasi dan musyawarah dengan teratur.  Lembaga ini dinamakan Majlis Islam Ala Indonesia yang dibentuk di kota Surabaya pada 21 September 1937 yang berisikan berbagai organisasi Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam. Setelah itulah Nahdlatul Ulama masuk hitungan sebagai gerakan politik.

Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Selain mendirikan Masyumi sebagai ganti dari MIAI, Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah bersama ulama lainnya berkonstribusi membebaskan K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 18 Agustus 1942, saat 4 bulan sebelumnya dipenjara dan diisiksa oleh Jepang karena menolak melakukan Seikerei.

Saat Jepang kalah perang dan menyerah kepada sekutu, KH. A. Wahab Hasbullan bersama Kyai Hasyim tanpa ragu langsung menyatakan dukungan terhadap Negara kesatuan Republik Indonesia yang dproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh soekarno hatta. Dukungan ini kemudian dibuktikan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dan para ulama serta kalangan santri dengan keterlibatan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 22 Oktober 1945 misalnya ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945. Fatwa jihad atau resolusi jihad ini mengobarkan para santri, ulama dan umat islam untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Selain para santri dan ulama, orang-orang perdesaan, bahkan pejuang di berbagai wilayah di luar Surabaya yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung asalnya bergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah bentukan Kyai Hasyim untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Seiring berjalannya waktu, pada masa Revolusi, atau masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia presiden Sukarno mengangkat pejabat dari tokoh NU KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Dewan Pertimbangan Agung karena presiden mengakui kualitas dan wawasan KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai ulama dan negarawan.

Selain berkontribusi menarik NU dari Masyumi, K.H. Abdul Wahab Hasbullah masih memiliki charisma dan kualitas. Dengan kemampuan bicara, orasi dan berani melakukan gerakan-gerakan yang selalu saja menyelesaikan persoalan-persolan yang bukan hanya dalam bidang agama, bahkan hingga masalah nasional.

Sosok KH Wahab Hasbullah memiliki ciri khas dalam memperjuangkan prinsip yang diyakininya dalam membangun demokrasi. Berbagai perjuangan yang telah dipelopori oleh KH Abdul Wahab Hasbullah telah membekas terhadap kaum Islam dan Negara Indonesia.

Muktamar NU ke 25 adalah muktamar terkair yang telah diikutinya. Sebelum wafat, KH Wahab Hasbullah pernah berdoa agar di hari terakhir hidupnya dapat memberikan suara pilihannya kepada Nahdlatul Ulama dan mengikuti muktamar. Sebenarnya, pada waktu itu beliau dalam keadaan sakit. Akan tetapi jiwanya tidak pernah sakit, menyadari bahwa jabatan yang baru dipercayakan kembali oleh Muktamirin itu tidak lain tidak bukan adalah tanggung jawab dunia dan akhirat.

Tepat, 4 hari setelah Muktamar NU ke 25, tepatnya pukul 10:00 WIB 29 Oktober 1971, KH Abdul Wahab Hasbullah wafat di kediamannya di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kurang lebih 10 juta warga Nadliyiin menyambutnya dengan tangis kehilangan. Wafatnya KH Wahab Hasbullah meninggalkan jejak sejarah harum bagi NU yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Atas jasa kiprahnya terhadap Islam dan pengabdiannya kepada Negara dengan mempertahakan Negara kesatuan Republik Indonesia, akhirnya presiden Joko widodo pada tahun 2014 menetapkan K.H. Abdul Wahab Hasbullah sebagai pahlawan nasional.

Dalam refrensi lain dituliskan banyak sekali bentuk perjuangan Kiai Wahab dalam memupuk nasionalisme. Di antara bentuk perjuangan tersebut yaitu:

Pertama, Kiai Wahab menjadi penuntun bagi rakyat Indonesia. KH. Saifudin Zuhri dalam bukunya yang berjudul “Mbah Wahab Hasbullah, Kiai Nasionalis Pendiri NU” menyebutkan bahwa Kiai Wahab Hasbullah adalah orang yang begitu besar pengabdiannya dalam menuntun jalan dan menanamkan kesiapan mental dan batin rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa yang mempunyai cita-cita besar. Beliau memilih iman, Islsm dan ihsan sebagai landasan pembinaan karakter bangsa dalam berkhidmat kepada cita-cita nasional, yang di dalam ajaran Islam, hal ini dibenarkan dan dianjurkan. (Saifudin Zuhri, Mbah Wahab Hasbullah, Kiai Nasionalis Pendiri NU, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010)

Kedua. Kiai Wahab aktif berjuang dalam medan perang. Beliau adalah pemimpin besar pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia, yaitu pasukan Barisan Ulama Mujahiddin. Beliau bahu-membahu bersama para kiai dan seluruh pasukan lainnya untuk membendung serangan dari para penjajah.

Ketiga, Kiai Wahab menciptakan lagu cinta tanah air. Lagu tersebut diberi judul Syubbanul Wathan. Bait-bait sya’ir dalam lagu ini berisi seruan untuk mencintai tanah air Indonesia. Salah satu ba’it terpenting ialah mencintai bangsa dan negara adalah sebagian dari iman. Ini merupakan aspek fundamental yang harus dipahami dan diamalkan. Melalui lagu ini, Kiai Wahab hendak menyebarkan spirit nasionalisme ke dalam diri seluruh warga negara, khususnya kepada warga nahdliyin.

Keempat, Kiai Wahab adalah penggagas silaturrahim nasional yang dikenal dengan istilah “Halal Bihalal”. Pada tahun 1948, bangsa Indonesia diterpa badai perpecahan. Banyak pihak, terutama elit politik yang saling bersinggungan. Untuk mengatasi hal itu, Presiden Soekarno memanggi Kiai Wahab Hasbullah ke istana untuk diminta pendapatnya guna menyelesaikan persoalan politik ini.

Kemudian, Kiai Wahab memberikan solusi agar diadakan silaturrahim nasional dengan nama “Halal bi Halal”. Hal ini dimaksudkan untuk melebur dosa-dosa dan hal-hal yang haram dari semua pihak yang tengah berselisih. Dan ternyata hajat ini berjalan sukses dan berhasil mendamaikan para pihak tersebut. Selanjutnya, acara “Halal bi Halal” ini terus dilakukan, bahkan hingga saat ini.

Demikianlah spirit nasionalisme yang luar biasa dari KH Wahab Hasbullah. Beliau mengajarkan betapa pentingnya semangat nasionalisme dalam diri setiap warga bangsa. Sebab, nasionalisme adalah tiang penyangga keberlangsungan bangsa dan negara, yang berisi ajaran, nilai, dan prinsip yang harus dihayati dan ditegakkan bersama. Semoga kita bisa meneladani semangat nasionalisme KH. Wahab Hasbullah. Amin.

KH. Bisri Syansuri

KH. Bisri Syansuri lahir dari pasangan Syansuri dan Mariah, pada tanggal 18 September 1886 (2 Dhulhijjah 1304 H). Anak pertama dari pasangan ini bernama Mas’ud, yang kedua adalah anak perempuan bernama Sumiyati. Bisri adalah anak ketiga dan setelah itu masih ada dua anak lagi yaitu Muhdi dan Syafa’atun. Mereka semuanya lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah.  Keluarga ini sangat kuat dalam menjalankan ibadah, dari garis silsilah ibunya, Bisri merupakan keluarga besar Kiai Kholil Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem.

Masyarakat Tayu pada umumnya memiliki tingkat kehidupan yang rendah apabila di bandingkan dengan derah lainya di pulau Jawa. Tanah pertanian yang tidak subur dan laut yang tidak meghasilkan ikan, menjadikan masyarakatnya bersikap pasrah dan mempercayai segala macam takhayul. Pada kondisi yang  seperti itu, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Pesantren merupakan pusat pendalaman ilmu dan pesantren juga memiliki peran yang vital sebagai penyedia calon ulama bagi daerah pedalaman Jawa. Ulama yang dihasilkan dari pesantren tidak pernah putus hingga  saat ini. Bisri, anak ketiga dari Syansuri  dan Maniah nantinya juga ditakdirkan akan menjadi bagian dari proses pengembangan ajaran Islam di pedalaman Jawa.

Bisri mulai belajar Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dengan belajar membaca dan aturan bacaan (tajwid) pada Kiai Shaleh di Desa Tayu. Pelajaran tersebut ditempuh Bisri hingga usia Sembilan tahun, kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan memiliki pesantren di Desa  Kajen sekitar 8 km dari Tayu. Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam tentang ilmu fiqih. Melalui ulama ini pula, Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, serta kumpulan hadits. Kiai Abdul Salam dalam mendidik Bisri sangat ketat. Sikap Kiai Salam yang fiqih oriented inilah yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan karakter Bisri di kemudian hari.

Pada usia 15 tahun, Bisri berpindah lokasi belajar. Beliau menuju pesantren di Demangan, Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang terpandang di Jawa pada saat itu. Bisri mulai mempelajari ilmu nahwu dan shorof sebagai pendukung ilmu Al-Qur’annya. Saat berguru pada Kiai Kholil inilah, beliau bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang santri yang menjadi sahabat dan rekan perjuangannya.

Pada waktu itu tradisi santri berkeliling untuk menuntut ilmu masih sangat kuat terjadi di beberapa pesantren. Begitu pula yang dilakukan oleh Bisri dan Wahab Hasbullah. Pada tahun 1906 keduanya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asyari.  Bisri belajar di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun. Bisri dan Wahab sangat mengagumi reputasi pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yakni KH. Hasyim Asy’ari, karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya sehingga membuat beliau mendapat gelar maha guru atau Hadratussyaikh.

Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah ajar dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, seperti kitab fiqih Al Zubad (yang kemudian menjadi kegemarannya), hingga ke kitab hadis yang menjadi spesialisasi KH. Hasyim Asyar’i yaitu hadits Bukhari, dan Muslim. Ketika itu sudah terlihat corak keilmuan Bisri yang akan membuatnya terkenal di kemudian hari. Pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqih sangat beliau kuasai. Bisri menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng pada tahun 1911-1914, kemudian berangkat ke Mekkah bersama Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad Sa’d Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan Syaikh Jamal Maliki. Juga belajar kepada gurunya Kiai Hasyim Asy’ari seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas.

Ketika Kiai Bisri berada di Mekkah selama dua sampai tiga tahun, di sana awal mula pembentukan sebuah cabang Sarekat Islam di tanah suci. Pendirinya antara lain, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Asnawi Kudus, KH. Abbas Jember, dan KH. Dahlan Kertosono. Kiai Bisri tidak melibatkan diri dalam organisasi tersebut, namun hal ini kemudian mengubah pola pikirnya bahwa perlunya mengorganisir dalam melakukan perjuangan keagamaan di luar jaringan pesantren. Selain itu Kiai Bisri tidak ikut terlibat secara intens dalam organisasi Sarekat Islam karena menunggu perkenaan dari guru yang sangat dihormatinya, Kiai Hasyim Asy’ari, hanya saja, sebelum mendapat izin dari gurunya, beliau harus kembali ke Tanah Air.

Sebelum kembali ke tanah air, Kiai Bisri menikah dengan Nur Khadijah, adik perempuan sahabat karibnya, KH. A. Wahab Hasbullah. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1914, dan pada saat itu pula Kiai Bisri memutuskan untuk kembali ke tanah air. Sepulangnya dari tanah suci Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya, Tambak Beras Jombang. Bisri tinggal selama dua tahun, untuk membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian.

Pada tahun 1917 Kiai Bisri berencana untuk mendirikan sebuah pesantren di Desa Denanyar Jombang. Denanyar merupakan sebuah desa yang terletak di garis perbatasan antara Kota Jombang dengan daerah pedalaman sebelah barat laut. Dengan letak yang strategis, didukung adanya pabrik gula yang praktis, namun ternyata Desa Denanyar rawan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, dan pembunuhan. Kiai Bisri tidak gentar melihat berbagai kejahatan di desa tersebut, beliau tetep yakin dengan niat awalnya untuk mendirikan pesantren dan mertuanya Kiai Hasbullah sangat mendukung langkahnya untk mendirikan pesantran.

Hingga pada akhirnya Kiai Bisri berhasil mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Hanya saja sebagaimana kebiasaaan saat itu, Kiai Bisri menerima santri putra saja dan tidak menerima santri perempuan. Pada era tersebut masyarakat masih memandang remeh pendidikan bagi anak perempuan, ditambah lagi tidak ada sekolah ataupun pesantren yang menerima perempuan. Perempuan pada zaman tersebut hanya disuruh diam saja di rumah untuk membantu memasak dan setelah itu disuruh menikah walaupun umur mereka masih terbilang dini untuk menikah. Akses pendidikan juga sangat terbatas, hanya anak-anak priyayi yang bisa bersekolah. Kiai Bisri kemudian bertekad untuk memajukan pendidikan Islam yang kemudian bersama istrinya melakukan sebuah inovasi dengan membuka kelas khusus untuk santri-santri putri.

Langkah inovatif ini dimulai pada tahun 1919 dengan memberikan pendidikan yang sistematis kepada santri putri. Dalam tradisi pesantren, pondok pesantren putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang ada pada masa itu atau setidaknya di wilayah Jawa Timur. Tidak heran apabila kemudian Kiai Bisri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kiai Bisri lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri perempuan di pesantren yang didirikannya.

Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kiai Bisri termasuk kategori aneh. Guru yang sangat dihormatinya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kiai Bisri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang dicintainya.

Pesantren Kiai Bisri di Desa Deanyar tersebut kemudian dinamai dengan pesantren Mamba’ul Ma’arif. Pada tahun 1923, Kiai Bisri mendirikan Madrasah Salafiyah yang pelajarannya khusus pada pelajaran agama. Lama pelajarannya 6 tahun dengan menyandang nama resmi Madrasah Mabadi’ul Huda. Masyarakat antusias, terbukti madrasah untuk santri putra dan putri ini terisi penuh empat kelas. Inovasi terus dilakukan oleh Kiai Bisri dengan cara mengubah bentuk madrasah salafiyah menjadi madrasah modern. Perubahan radikal ini dilakukan kurang lebih pada awal tahun 1950-an, setelah bangsa Indonesia benar-benar berdaulat.

Di tengah-tengah proses reformasi pendidikan pesantren ini, istri Kiai Bisri, Hj. Nur Khadijah meninggal dunia pada tahun 1955. Wafatnya istri yang setia mendampingi Kiai Bisri dalam melakukan reformasi di bidang Pendidikan Islam ini tentu banyak mempengaruhi pemikiran Kiai Bisri. Hanya saja, Kiai Bisri tidak mau larut dalam kesedihan. Pada tahun 1956, atas prakarsa Kiai Bisri, dibukalah Madrasah Tsanawiyah yang setara dengan SLTP. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1958, Madrasah Tsanawiyah putri dibuka. Modernisasi terus dijalankan secara konsisten. Tepat pada tahun 1962, didirikanlah Madrasah Aliyah yang kemudian juga berjalan dengan stabil. Pada tahun itu juga status organisasi dikukuhkan dengan membentuk Yayasan Mamba’ul Ma’arif (YAMAM).

Dalam refrensi lain di tuliskan  mengenai jasa-jasa Beliau antara lain:

Salah Satu Pendiri NU


KH. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kiai yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati berdirinya organisasi NU. KH. Bisri Syansuri duduk sebagai A’wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.

Sejak KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, di mana KH. Bisri Syansuri ditetapkan sebagai wakilnya. Tahun 1971 beliau menggantikan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais ‘Aam sampai akhir hayatnya.

Memimpin NU dan Pejuang RUU Perkawinan Orde Baru

Ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika KH. Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat, Rais Aam NU berada di pundak KH. Bisri Syansuri pada tahun 1972, era mulai menguatnya pemerintahan Orde Baru. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Sangat menarik untuk diikuti bahwa proses perundingan dalam upaya menyetujui RUU tersebut agar menjadi Undang-Undang (UU) berlangsung sangat alot dan ketat.

Isi RUU Alternatif rancangan para ulama yang dimotori KH. Bisri Syansuri, yang meliputi:

1. Perkawinan bagi orang muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil (pasal 2: NU berhasil memenangkan pendapatnya);

2. Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah setelah diceraikan harus diperpendek. Pemerintah mengusulkan satu tahun, sedangkan NU minta tiga bulan karena menuntut seorang dari Muslimat, suami berhak rujuk kembali kepada istri selama masa ‘iddah itu. Tidak ada perkecualian diberlakukan bagi wanita usia lanjut.

3. Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak diizinkan. NU cukup berhasil dalam arti definisi anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.

4. Pertunangan dilarang karena “dapat mendorong ke arah perzinahan. NU berhasil, pasal 13 ini dihapus.

5. Anak angkat tidak memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Dalam hal ini NU berhasil; pasal 42 mengatakan bahwa anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.

6. Penghapusan sebuah pasal dari rancangan undang-undang yang diajukan yang menyatakan bahwa perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan. Pasal 11 ini dihilangkan dan tidak disinggung.

7. Batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan adalah 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita 19 tahun bagi pria dan bukan 21 tahun. Pada pasal 7 ini, NU berhasil.

8. Penghapusan pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakannya”. Pada pasal ini, NU berhasil.

9. NU menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat. Pasal ini disempurnakan menjadi hubungan sebagai anak angkat tidak dilarang, tetapi disinggung pula soal hubungan persusuan.

10. NU menolak larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai. Dalam pasal 10 ini, NU berhasil. Perlawanan NU dalam RUU Perkawinan di awal Orde Baru tersebut tidak terlepas dari KH. Bisri Syansuri ahli fiqih yang telah matang, bersama kiai-kiai NU lain.

Ahli dan Pecinta Fiqh

Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika KH. Bisri Syansuri nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. KH. Bisri Syansuri sangat mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika KH. Bisri Syansuri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.  Hal ini lah yang membuat, KH. Bisri Syansuri menjadi tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Menjadi Politisi Tangguh

Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika KH. Bisri Syansuri bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, KH. Bisri Syansuri menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP. Hasil pemilu 1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota Konstituante, sampai lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil Pemilu 1971 mengantarkan KH. Bisri Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU. Jabatan itu dipegangnya sampai beliau wafat.

Karier

Pada tahun 1972 KH. Bisri Syansuri diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.

Menjadi Ketua Majelis Syuro PPP

Menjadi anggota Konstituante, sampai lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada Pemilu 1971 mengantarkan KH. Bisri Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU

Pada masa kemerdekaan beliau terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).

Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Kisah Teladan

Menegur Bung Hatta Memakai Peci

Pada suatu Jum’at, KH. Bisri Syansuri sedang melaksanakan shalat di masjid Mataraman Jakarta. Di masjid ini pula Bung Hatta istiqamah melaksanakan shalat. Pada saat itu, KH. Bisri Syansuri melihat Bung Hatta sedang shalat dan saat bersujud dahinya masih tertutup oleh peci hitamnya.

Setelah Bung Hatta selesai shalat, Kiai Bisri dengan ramah memperkenalkan diri, sekaligus dengan lembut mengingatkan Bung Hatta jika dalam shalat, dahi tidak boleh tertutup oleh peci. Setelah itu setiap kali Bung Hatta memasuki masjid pecinya langsung didongakkan ke belakang sehingga tidak menutupi dahi ketika melangsungkan sujud.

Peduli Terhadap Perempuan

Pada tahun 1919, KH. Bisri Syansuri melakukan suatu gebrakan baru mengenai hal yang dirasa tabu oleh masyarakat yaitu mendirikan kelas khusus bagi perempuan di pesantrennya.

Hal tersebut merupakan hal pertama yang terjadi di lingkungan pesantren khususnya di Jawa Timur. Mendengar hal tersebut, KH Hasyim Asy’ari langsung berangkat menuju Denanyar, Jombang. Beliau melihat, langsung proses pembelajaran kelas perempuan dan berkesimpulan bahwa hal tersebut tidak dilarang.

Di abad 20 saja KH. Bisri Syansuri mampu membangun pendidikan perempuan yang sangat mulai. Banyaknya kasus asusila dan pelecehan pada perempuan sangat kontras dengan usaha yang dilakukan oleh Kiai Bisri. Kita patut mencontoh ide KH. Bisri Syansuri. Sebab dari perempuan cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula.

Teguh Pendirian Dalam Fiqih

KH. Bisri Syansuri merupakan seseorang yang teguh pendirian. beliau akan mati-matian untuk mempertahankan apa yang menjadi prinsipnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, KH. Bisri Syansuri merupakan seseorang yang mencintai fiqh sepanjang hayatnya. Maka, itulah yang akan ia pegang hingga maut tiba.

Meskipun beliau berbeda prinsip dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang merupakan kakak iparnya, namun mereka tetap berjalan tanpa bermusuhan. Keduanya tetap memegang apa yang telah menjadi keteguhan hidupnya.

Pengabdian di NU

Salah Satu Pendiri NU

KH. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kiai yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati berdirinya organisasi NU. KH. Bisri Syansuri duduk sebagai A’wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.

Sejak KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, di mana KH. Bisri Syansuri i ditetapkan sebagai wakilnya. Tahun 1971 ia menggantikan KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai Rais ‘Aam sampai akhir hayatnya.

Diangkat menjadi Rais Aam PBNU

Setelah wafatnya KH. Abdul Wahab Chasbullah 1972, KH. Bisri Syansuri diangkat sebagai Rais Aam Syuriah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama. Saat ketika NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan beliau pernah menjabat sebagai Ketua Majlis Syuro. KH. Bisri Syansuri terpilih menjadi anggota DPR hingga tahun 1980.

Diangkat  Penghargaan Pahlawan Santri

Penghargaan Pahlawan Santri kepada Pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Denanyar, Jombang, Jawa Timur (Jatim) itu diberikan langsung oleh Pengasuh Ponpes Darul Muttaqien, Bogor, KH Matrajo kepada anak almarhum KH. Bisri Syansuri, yakni Hj Muhassonah Hasbullah (mewakili keluarga)  di Gedung Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur, Jakarta, Minggu (22/10).

Itu gambaran sekilas mengenai Perjuangan para Tokoh Ulama' Pendiri Nahdlatul Ulama' yang diambil dari beberapa refrensi dan masih banyak lagi tentunya terkait kisah perjuangan-perjuangan para tokoh Ulama' Nahdlatul Ulama' dan Semoga kita semua sebagai santri NU bisa meneladani contoh perjuangan beliau yang sudah dilakukan oleh beliau semua amiin. 

Waallahu A'lam Bishowab

Sumber Rujukan :
Abdurrahman Wahid, Kiai Bisri Syansuri : Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat, (Jakarta: Amanah, 1989)
https://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/
https://pesantren.id/kh-wahab-hasbullah-sang-pejuang-nasionalisme-10080/
https://ppanwarulhuda.com/rubrik/literasi-santri/jiwa-merdeka-k-h-abdul-wahab-hasbullah-sebuah-biografi-dan-perjuangan-k-h-abdul-wahab-hasbullah/
https://tebuireng.online/4-peran-kh-hasyim-asyari-untuk-kemerdekaan-ri/
https://ulamanusantaracenter.com/biografi-kh-bisri-syansuri-tokoh-pembaruan-pesantren/
https://www.laduni.id/post/read/645/biografi-kh-bisri-syansuri#Jasa
https://www.tambakberas.com/
KH. A, Aziz Masyhuri, Almaghfirlah KH. M. Bisri Syansuri: Cita-cita dan pengabdiannya (Surabaya:al-ikhas,tt)

Rabu, 12 Januari 2022

Biografi KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”          

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin  Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d  Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:

1.            At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.

2.            Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.

3.            Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.

4.            Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

5.            Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

6.            Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

Dalam refrensi lain tentang Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dijelaskan sebagai berikut :

KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:

1.            Halimah (Winih)

2.            Muhammad

3.            Leler

4.            Fadli

5.            Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:

1.            Nafi’ah

2.            Ahmad Saleh

3.            Muhammad Hasyim

4.            Radiyah

5.            Hasan

6.            Anis

7.            Fatonah

8.            Maimunah

9.            Maksun

10.          Nahrowi, dan

11.          Adnan.

Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama’

Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

             Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan

             Harta benda yang berlimpah-limpah

             Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.

Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:

1.            Hannah

2.            Khoiriyah

3.            Aisyah

4.            Azzah

5.            Abdul Wahid

6.            Abdul hakim (Abdul Kholiq)

7.            Abdul Karim

8.            Ubaidillah

9.            Mashurroh

10.          Muhammad Yusuf.

Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:

1.            Abdul Qodir

2.            Fatimah

3.            Chotijah

4.            Muhammad Ya’kub

Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )

Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab Klasik

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.

Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:

1.            Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya

2.            Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3.            Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4.            Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5.            Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6.            Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7.            Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8.            Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan

 

Sunber  Rujukan :

Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah, (Surabaya, 2010) hal. 67
Drs. Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy’ari Sehimpun Cerita, dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta, 2018) hal. 28-32
https://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/
https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/
Qona’atun Putri Rahayu, Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.