Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah
Kyai yang satu ini adalah sosok kyai sejati yang selalu mengayomi dan
memberikan kesejukan kepada umat. Kearifan, pengetahuan dan pengalaman
hidupnya menjadikannya sebagai sosok yang sangat disegani dan dihormati
oleh rakyat Indonesia, khususnya kalangan umat Islam terlebih kalangan
warga nahdhiyin. Beliau telah mengukir sejarah yang gemilang dalam
meletakkan prinsip-prinsip agama dan kehidupan sebagai kunci dan
pegangan hidup bermasyarakat dan bernegara. Berbagai macam prestasi
perjuangannya telah diraihnya dengan cemerlang. Perannya di semua lini
kehidupan, politik, budaya, agama menjadikannya sebagai kyai
multikultural yang menjadi tokoh simbol perjuangan anak bangsa.
Riwayat Hidup dan Keluarga
Pemikiran-pemikirannya selalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik persoalan
keagamaan maupun kebangsaan. Pengalaman hidupnya di tiga zaman telah
membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Beliau lahir pada bulan Maret
1888 M. dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah di Tambakberas
Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh pondok Tambakberas ini masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad
ke-20 yang juga berasal dari Jombang, yaitu KH Hasyim Asy’ari.
Silsilah Nasab
Nasab KH Hasyim Asy’ari dan Kyai Chasbullah bertemu dalam satu
keturunan dengan KH. Abdussalam. Jika diurut ke atas, nasab keluarga ini
akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.
Wafat
Wafatnya KH. Wahab Chasbullah Sebelum wafat KH. Wahab masih sempat
menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am
PBNU. Pun juga masih bisa memberikan suaranya bagi partai NU dalam
pemilu tahun 1971. Menurutnya menghadiri Muktamar NU dan memberikan
suara pada pemilu adalah bagian dari salah satu perjuangan, karena
perjuangan adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan. Tetapi
empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang banyak berjasa
terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada 29
Desember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren
Tambakberas, Jombang.
Pendidikan
Sejak kecil beliau dididik secara langsung oleh ayahnya. Beliau
diajari pendidikan agama, seperti membaca al-Qur’an, tasawuf, dsb.
Setelah dipandang cukup, KH. Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk
berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Pesantren
Mojosari-Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh, Pesantren
Tawangsari-Surabaya, dan Pesantren Bangkalan-Madura di bawah bimbingan
langsung KH Cholil Bangkalan yang masyhur itu. Oleh Kyai Kholil, Kyai
Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Jombang. Di berbagai
pesantren inilah KH. Wahab menimba pengetahuan dan pengalaman. Beliau
mempelajari kitab-kitab penting keagamaan sampai mahir.
Pada usia 27 tahun KH. Wahab meneruskan pendidikannya ke Makkah. Di
kota suci itu beliau berguru kepada ulama terkenal diantaranya KH.
Machfudz Termas, KH. Muhtarom Banyumas, Syekh Ahmad Chotib Minangkabau,
KH. Bakir Yogyakarta, KH. Asya’ri Bawean, Syekh Said al-Yamani dan Syekh
Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan
pengetahuan keagamaan KH. Wahab. Melihat riwayat pendidikannya, tidak
heran jika di kalangan ulama dan para pejuang sebayanya, KH. Wahab
tampak paling menonjol di segi wawasan pemikiran dan pengetahuannya.
Seperti kebiasaan pola hidup di pesantren, KH. Wahab pun hidup dengan
sangat sederhana. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, KH. Wahab berdagang
apa saja yang penting halal. Di antaranya beliau pernah berdagang nila
dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Karena
banyaknya bidang usaha yang digeluti, beliau mempercayakan pengelolalaan
usahanya kepada orang lain dengan cara bagi hasil. KH. Wahab selalu
dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan
berwibawa.
Silsilah Keilmuan
- KH Hasyim Asy’ari
- Syekh Mahfudz At-Tarmasi
- KH. Muhtarom Banyumas
- Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
- KH Bakir Yogyakarta
- KH Asya’ri Bawean
- Syekh Said al-Yamani
- Syekh Umar Bajened
Jasa dan Karya Beliau
Pendirian NU
Pancaran sinar wajahnya menyimpan aura kelembutan dan kasih sayang.
Selain pemurah kyai yang satu ini sulit untuk marah dan dendam.
“Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah,” kata KH
Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya KH. Saifuddin
Zuhri juga melukiskan bahwa KH. Wahab adalah ulama yang mempunyai
pengetahuan sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang
yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian
kata-katanya yang serba baru dan selalu mengandung nilai-nilai
kebenaran. KH. Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise”. Tindak
tanduk dan tutur katanya selalu orisinal yang keluar dari perbendaharaan
ilmu dan pengalamannya. Beliau tidak pernah merasa canggung saat
berbicara di muka ribuan manusia. Beliau tidak bangga bila berbicara di
hadapan orang banyak, begitu juga tidak pernah kecewa bila yang
mengerumuni sedikit orangnya. Selain karena kecerdasan otaknya, retorika
penyampaiannya juga menarik sehingga setiap uraian kata-katanya dapat
didengar dan dicerna dengan baik dan tidak membosankan.
Bagi warga NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, KH. Wahab
tidak sekadar tokoh dan pendiri, melainkan juga sebagai simbol
pemersatu, yang menarik juga adalah tradisi intelektualnya di kalangan
ulama pesantren. Diceritakan bahwa KH. Wahab mendirikan, memelihara dan
membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan harta dan tenaganya.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut KH. Wahab adalah
ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang
tidak diperhitungkan sampai menjadi jam’iyah Islam terbesar di
Indonesia. Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan
sosok KH. Wahab Chasbullah.
Meminjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab dijuluki sebagai
“kyai merdeka”. Sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini
memang berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh
lingkungan sekeliling. “Bukan “pak turut” (selalu ikut-ikutan)”, istilah
KH. Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan
berpakaian pun beliau tidak meniru orang lain. Kyai nyentrik ini
mempunyai ciri khas dalam berpakaian, selalu memakai surban. Hingga
suatu ketika menurut cerita KH. Saifudin Zuhri saat KH. Wahab berbicara
dalam sidang parlemen sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu
membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada orang nyeletuk, “Tanpa
serban kenapa sih?”. Sambil menunjuk serbannya, KH. Wahab kontan
menjawab, “Ini Serban pangeran Diponegoro!, beliau, Kiai Mojo, Imam
Bonjol, Teuku Umar semuanya pakai serban”.
Mendengar perkataannya seluruh peserta sidang tertawa semuanya
sehingga ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen. Kiai Penuh
Prestasi Prestasi-Prestasi KH. Wahab Chasbullah sangat banyak sekali.
Seperti mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914,
mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan bersama KH.
Mas Mansur, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, memprakarsai
berdirinya NU. Di bidang jurnalistik, dia merintis majalah Suara
Nahdhatul Ulama yang terbit setengah bulan sekali. Beliau memandang,
bahwa dengan majalah gagasan-gagasan NU dapat tersebar secara lebih
efektif dan efisien.
Pejuang Kemerdekaan
Sebelumnya gagasan NU hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung
ke panggung dan pengajaran di pesantren. Selain itu beliau bersama
dengan tokoh NU lainnya membeli gedung di Jalan Sasak 23 Surabaya
sebagai pusat aktivitas NU. Berangkat dari gagasn KH. Wahab di bidang
jurnalistik ini kemudian menyusul terbitnya majalah-malajah lain,
seperti Suluh Nahdlatul Ulama dipimpin Umar Burhan, Terompet Ansor
dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah Penggugah yang berbahasa Jawa
dipimpin oleh K. Raden Iskandar yang kemudian digantikan Saifuddin
Zuhri. Dari tradisi jurnalistik ini, NU pernah mempunyai
jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan
Mahbub Junaidi. KH. Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi
perjuangan yang baik dalam kancah politik Islam. Beberapa prestasinya
adalah seperti pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI
(Gabungan Partai Politik Indonesia) dan Masyumi.
Lewat pergerakan inilah KH. Wahab terlibat dengan tokoh-tokoh
terkemuka, seperti K. Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr.
Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin, dsb. Tidak salah lagi,
jika KH. Wahab dikategorikan salah seorang yang mempunyai andil
terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU. Hampir di semua
sektor beliau menggagas ide-ide yang cemerlang untuk perkembangan NU
mulai dari tradisi intelektual, jurnalistik, peletak dasar struktur
Syuriah dan Tanfidziyah NU, sampai siasat bertempur di medan laga.
Karena beliau mempunyai prinsip, “kalau kita mau keras harus punya
keris.” Artinya kalau ingin besar seseorang harus mempunyai kekuatan,
baik kekuatan politik, militer maupun batin. Selain prestasi-prestasi
yang tersebut di atas perlu dicatat juga dalam diri KH. Wahab adalah
keaktifannya dalam gerakan-gerakan melawan penjajah untuk membebaskan
negara ini dari kungkungan penjajajah seperti dibuktikannya dalam Laskar
Hizbullah pimpinan KH. Zainal Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH.
Masykur dan Barisan Kyai pimpinan beliau sendiri untuk berperang melawan
penjajah.
Komite Hijaz sebagai Benteng Islam Aswaja
Prestasi gemilang lainnya adalah keberhasilannya memperjuangkan
kepentingan kaum sunni untuk mendapat perlindungan dan kebebasan di
negara Arab Saudi dalam Kongres Dunia Islam di Mekkah. Pada saat itu
Raja Saud Arab Saudi melarang berkembangnya faham sunni di negara
kekuasaannya. Akan tetapi karena usulan KH. Wahab beserta tokoh-tokoh
Islam yang tergabung dalam Komite Hijaz, diantaranya KH Bisri Syansuri,
K. Ridwan Semarang, KH Raden Asnawi Kudus, K. Nawawi Pasuruan, K.
Nachrowi Malang dan K. Alwi Abdul Aziz Surabaya akhirnya Raja Saud
membebaskan faham sunni hidup dan berkembang di Mekkah.
Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rois ‘Am, KH. Wahab
mengharapkan supaya NU tetap menemukan arah jalannya dengan selalu
menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah swt. sebagai organisasi Islam
terbesar di Indonesia dengan melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak
Ahlussunnah wal- Jama’ah. Beliau juga mengingatkan agar kaum Nahdliyin
kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926 atau lebih dikenal dengan
khittah NU 1926. Demikianlah sosok KH. Wahab Chasbullah, kyai yang
diberkati memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, zaman
penjajahan, zaman kemerdekaan (orde lama) dan zaman pembangunan (Orde
Baru). Maka tak heran jika pengalaman dan sejarah hidupnya selalu
dikenang sepanjang masa karena jasanya yang tidak sedikit. Dan masih
banyak teladan yang ditinggalkannya untuk dijadikan ibrah bagi generasi
penerusnya. Semoga kita bisa meniru dan meneruskan
perjuangan-perjuangannya, amiin….
Sumber: almihrab.com
Pelopor Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab
Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang
ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di
Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang
terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang
diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi
sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh
Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga
menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh
nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan
generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi
ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai
Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama
dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang
mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah
Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari
ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama
yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai
Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum
(Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan
berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk
Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin
Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya
bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam
nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan
kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial
kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa
tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri
Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya
hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan
yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir
juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena
anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian
oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk
anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan
ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas
bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran
yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa
yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan
semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih
terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Sumber : https://www.pcnutulungagung.or.id