Pentingnya meneladani perjuangan para Tokoh Ulama’
pendiri NU dalam rangka memperingati Hari Lahir Nahdlatul Ulama’ yang ke 96
pada tanggal 31 Januari 2022. Dalam hal ini kita sebagai santri NU dan Masyarakat
NU maupun secara keseluruhan tentunya kita harus memahami bahwa apa yang sudah
kita rasakan saat ini adalah sebagai hasil dari para perjuangan Tokoh Ulama’
Nahdlatul Ulama’ yang tentunya perlu kita syukuri. Dimana perlu kita renungkan
beberapa perjuangan dari para Tokoh Ulama’ yang memiliki kontribusi yang luar
biasa bagi Bangsa dan Negara Indonesia tercinta ini. Perjuangan para Ulama’
terdahulu yang bisa memberikan semangat perjuangan yang semestinya kita semua
lakukan dan teruskan perjuangannya dalam segala aspek sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Sangat banyak perjuangan yang dicontohkan oleh para
ulama’ terdahulu dalam memperjuangkan Negara dan Bangsa Indonesia, tentunya
dalam hal ini sudah semestinya kita semua melanjutkan perjuangan beliau semua,
dengan Meneladani Perjuangan Tokoh Ulama' Pendiri NU sebagai refleksi diri kita
dalam Harlah NU ke 96 Nahdlatul Ulama dengan tema Kemandirian dalam Berkhidmat
Untuk Peradaban Dunia, yang mana memiliki makna yang semakin luas bahwa perjuangan tidak
hanya ada di dalam Negeri melainkan juga memberikan contoh kepada peradaban
Dunia dengan nilai-nilai yang baik yang bisa diterima oleh seluruh kalangan,
saling menghormati, menghargai dan mengajarkan kebaikan untuk semua. Semoga kita
semua bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mencoba menengok
sejarah tentang kisah perjuangan Tokoh Ulama’ NU sebagai berikut:
KH.M. Hasyim Asy’ari
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau yang memulai
pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras
membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat
memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara
autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan
akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan
keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni
belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu,
Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa,
khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah
bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M.
Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat
Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil
menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai
Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu
adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu,
Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya,
Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin
tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu.
Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik
semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok
Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah
Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah
Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H.
Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai
Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu
baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak
lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah
untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah
dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh
disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan
sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di
tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai
putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh
hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang
ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah
melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti
dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa
kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau
untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat
kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah
dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci
Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni
ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah
pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti
Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan
makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.
Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar
sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman,
Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki
al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib
Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah
sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu
agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi
bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M,
beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren
Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia
dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto
Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh
Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana
membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng
yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu
tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua
itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau
hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam
Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat,
tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah
menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah
daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M,
didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya,
seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara,
dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci
terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang
kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab
shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci
ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong
dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP.
Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang
pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan
diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng
yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan
Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam
berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16
Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah
Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad
bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad
bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar
sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi
(peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh
Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi.
Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka
kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin
memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar
sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini,
melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu
beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal
jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang
belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika
memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu
dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan
keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas
pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan
kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa
dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah
belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian
yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya
dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, Harta benda yang berlimpah-limpah, Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata:
“Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri
nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan
dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali
memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang,
beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau
mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi
cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu
dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942
Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian
ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M.
Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin
Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Dalam Refrensi lain dituliskan bahwa peran sosok
Kiai Hasyim dan arti kehadiran beliau bagi bangsa ini antara lain :
Menggembleng Hizbullah dan Sabilillah
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) tak bisa dipisahkan dari peran para pejuang Muslim, atau lebih tepatnya
kaum santri. Dalam masa 1943-1945, hampir semua pondok pesantren membentuk
laskar-laskar dan barisan-barisan guna merengkuh kemerdekaan Tanah Air.
Dari sekian banyak laskar, Laskar Hizbullah dan
Sabilillah merupakan yang paling tersohor kala itu. Laskar Hizbullah (Tentara
Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, tepatnya 8 Desember 1944.
Laskar ini terdiri dari para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh daerah
di Indonesia.
Awal mula didirikannya Laskar Hizbullah adalah untuk
menjadi kekuatan cadangan dari pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Sebab kala
itu, Jepang, yang telah memberi restu pada tokoh-tokoh Muslim untuk membentuk
kekuatan militer, sedang terdesak akibat berkonfrontasi dengan sekutu.
Kiai Hasyim Asy’ari yang saat itu menjadi pimpinan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) telah menjadi pioner utama
penyemangat para pejuang kelaskaran. Bahkan beliau sendirilah yang memberikan
wejangan dan penggemblengan kepada para pejuang laskar.
Setiap malam mereka digembleng di Pesantren Tebuireng
dengan diberikan amalan-amalan, doa-doa, wirid-wirid, sampai ritual
pemberangkatan yang sangat sakral. Bagi kaum pesantren barokah kiai macam Kiai
Hasyim tentu merupakan motivasi yang besar.
Selain dilatih kemiliteran, Laskar Hizbullah juga
dibekali pendidikan kerohanian oleh para kiai. Setelah mendapat pelatihan
militer yang cukup, anggota Laskar Hizbullah kembali ke tempat masing-masing.
Di tempat mereka membentuk satuan militer. Tak kalah
pula, para kiai-kiai pesantren pun membentuk satuan militer yang disebut
Sabilillah. Mereka inilah yang berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari
sekutu, termasuk pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Sebelum dikirim ke medan pertempuran, para punggawa
Laskar Hizbullah, khususnya di wilayah Jawa Timur, dididik langsung oleh
Hadratussyaikh. Istilah yang dipakai adalah penggemblengan. Kiai Abu Bakar
Diwek Jombang, dalam kesaksiannya soal penggemblengan itu, ada doa-doa khusus
yang diberikan Kiai Hasyim, seperti wirid dan hizb.
Namun, sayangnya beliau enggan memberitahu kami
bacaan itu. Dari tangan-tangan hangat Kiai Hasyim muncullah para pejuang hebat
dan militan, di antaranya Kiai Munasir Mojokerto, Kiai Yusuf Hasyim (putra
beliau), dan Kiai Ahyat Chalimi Mojokerto. Ketiganya adalah tiga serangkai
pimpinan Laskar Hizbullah Jombang dan Mojokerto dalam pertempuran melawan
sekutu di Surabaya dan sekitarnya.
Ada juga Kiai Hasyim Latief, paman Emha Ainun Najib,
Kiai Nawawi Mojokerto, Kiai Masykur Malang, dan masih banyak lagi kiai-kiai
muda saat itu yang menjadi komandan handal.
Mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad
Para pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh
militer, seperti Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman meminta
saran-saran kepada para kiai. Mereka datang untuk meminta pendapat, nasihat,
bahkan fatwa tentang perjuangan melawan penjajah.
Sebelum keputusan soal Resolusi Jihad pada 22
Oktober 1945, Kiai Hasyim para 17 September 1945 beliau mengeluarkan fatwa
jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu
jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan
Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat
Islam.
Pada 21-22 Oktober 1945 PBNU menggelar rapat konsul
NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di
Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi
perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU
akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad
Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Isinya adalah menyeru kepada bahwa wajib hukumannya
berjuang mempertahankan NKRI. Yang gugur dalam medan perang dianggap sebagai
syahid fi sabilillah.
Dalam redaksi yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam
bukunya “Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya (2016)” bahkan lebih rinci lagi. “Berperang menolak
dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap
orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi
jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan
moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi,
kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan
sebagian sadja)…”.
Peristiwa ini memang terjadi pasca 17 Agustus 1945,
tetapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini menjadi tonggak
keberlangsungan bangsa.
Sangat mungkin berbeda jika yang terjadi, Sekutu
datang, kita kalah dalam peperangan, tanpa perlawanan, akan menjadi negara
boneka, ataupun masih jadi persemakmuran. Artinya tidak sepenuhnya berdaulat,
walau telah dinyatakan merdeka.
Taktik Dakwah Memanfaatkan Jepang
KH. Salahuddin Wahid dalam sebuah kesempatan pernah
menjelaskan, bahwa saat dijajah Jepang, warga Indonesia banyak memberikan ruang
bagi tokoh-tokoh Islam. Bahkan dibentuk badan yang mengurusi keagamaan atau
Shumubu yang diminta jadi ketua yaitu KH. Hasyim Asy’ari, tapi sehari-hari yang
mengurusinya yaitu putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim.
Karena Kiai Hasyim memilih menjaga santrinya untuk
membacakan kitab dan ngaji ilmu agama di Tebuireng. Kemudian dari sini banyak
muncul tokoh Islam dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Itu terjadi pada tahun
1943-1944. Dan kedekatan dengan Jepang ini membuat lahir Laskar Hizbullah dan
Pembela Tanah Air (Peta) yang dilatih oleh Jepang.
Ini juga merupakan bentuk ruang-ruang yang
disediakan oleh Jepang untuk orang-orang Indonesia atas lobi sejumlah tokoh.
KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, dan Supriadi memilih bekerja sama dengan Jepang.
Ternyata tidak semua tokoh bangsa saat itu, setuju, salah satunya, yaitu Sutan
Sjahrir.
Bahkan ia pernah menyebut mereka bertiga sebagai
Anjing-anjing Jepang. Ia tidak tahu padahal ini hanya taktik dakwah. Gus Sholah
menyebut hal itu mirip seperti mubalig zaman awal kedatangan Islam, yang tak
mungkin frontal melawan Jepang, justru memanfaatkan ruang yang disediakan.
Kelihaian dakwah Kiai Hasyim dan Kiai Wahid terus
berlanjut dengan adanya Masyumi sebagai pemersatu Umat Islam Indonesia saat
itu. Tokoh-tokoh masyumi sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan,
khususnya pada jalur politik dan diplomatis.
Politik memanfaatkan dengan dalih kerjasama oleh
tokoh-tokoh ini terbukti memberikan jalan mulus bagi kemerdekaan Indonesia.
Bayangkan jika tidak ada piranti-piranti bentukan Jepang itu, tentu akan
semakin susah untuk mendapatkan kemerdekaan.
Membesarkan Hati Umat Islam soal Dasar Negara
Kemudian dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari badan ini lah mulai muncul
usulan dasar negara yaitu Pancasila dan Islam. Bung Karno sempat menangis
meminta seluruh anggota BPUPKI untuk menerima Pancasila. Karena ada jalan buntu
antara nasionalis dan Islam. Baru 17 Agustus 1945 kemerdekaan diproklamirkan.
Pertentangan dasar negara ini sangat tajam, akhirnya
dibentuk panitia sembilan. Ada Bung Karno, Bung Hatta, H. Agus Salim, Abikusno,
Kahar Mudzakir. AA. Maramis, A. Soebardjo, M. Yamin, dan KH. Wahid Hasyim.
Panitia ini menghasilkan piagam Jakarta yang kita
kenal hingga kini, yang kemudian kita kenal sekarang Pancasila. Dari situ, kita
melihat, umat Islam mengalah dengan keadaan. Mereka melihat jika perdebatan
terus dilakukan akan terjadi konflik yang besar.
Kiai Hasyim, melalui Kiai Wahid pun melihat itu.
Sampai pada penghapusan tujuh kata sila pertama “dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam bagi Pemeluknya”, pun umat Islam menunjukkan kebesaran hati
menerima sebagai mayoritas di NKRI.
Tangan-tangan strategi dakwah yang dilakukan Kiai
Wahid tak bisa lepas dari bisikan dan saran dari ayahandanya Kiai Hasyim.
Sebuah sikap yang tepat di masa genting, yang diharuskan cepat dalam merumuskan
dasar negara, agar segera dapat merdeka.
Maka untuk sekarang ini, jangan mempertanyakan
kesetiaan umat Islam kepada NKRI. Dari dulu mereka sudah menunjukkan jiwa
ksatria menerima bangsa ini sebagai “rumah” mereka.
KH Wahab Hasbullah
Abdul Wahab Chasbullah atau yang biasa dipanggil
dengan Mbah Wahab lahir di kota Jombang, pada tanggal 31 Maret 1888. Beliau
merupakan putra pasangan KH. Hasbullah Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas
Jombang Jawa Timur, dengan Nyai Latifah. KH. Wahab Hasbullah berasal dari
keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah KH. Hasyim Asy’ari pada
Kiai Abdus Salam bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sumbu bin Pangeran
Benowo bin Jaka Tingkir.
Sosok Kyai Wahab Hasbullah ini merupakan tipikal
santri muda dan ulama yang bercita-cita tinggi. Sejak kecil KH. Abdul Wahab
Hasbullah menghabiskan masa pendidikannya di pondok pesantren. Kemauan yang
keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecil K.H.
Abdul Wahab Hasbullah yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung
oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Kyai Wahab Hasbullah merantau untuk
menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya selama
20 tahun.
Di antara pesantren yang pernah disinggahi Mbah
Wahab Hasbullah adalah Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari, Nganjuk,
Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari, Sepanjang, Pesantren Kademangan
Bangkalan, Madura dibawah asuhan KH. Kholil Bangkalan, Pesantren Branggahan,
Kediri, Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Selain
di tanah Jawa, K.H. Abdul Wahab Hasbullah juga memperluas pencarian ilmunya
hingga ke tanah Arab. di Tanah Suci Mekkah inilah beliau belajar kepada Syekh
Mahfud Tremas, Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Bakiq al-Jugjawi, Kiai Muhtarom
Banyumas, Kyai Asy’ari Bawean, dan Syekh Said Al-Yamani.
Meskipun jauh di negeri orang dan masa belajar, Kyai
Wahab memiliki perhatian besar terhadap kondisi tanah airnya Indonesia yang
masih dalam jajahan Belanda. Sembari menimba ilmu ke berbagai ulama beliau juga
menjadi anggota Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Selepas pulang menuntut
ilmu di Tanah Suci Mekkah, Kyai Wahab tidak langsung menetap di Tembakberas.
Beliau memilih tinggal di Surabaya. Di situlah beliau bergaul dengan berbagai
kalangan.
Pada tahun 1914, ketika K.H. Abdul Wahab Hasbullah
kembali ke Indonesia, beliau bersama Mas Mansoer medirikan madrasah. Hingga
tahun 1941 beliau juga kerap mendirikan Tashwirul Afkar yaitu suatu kelompok
diskusi dan sebuah wadah perdebatan yang bukan hanya tentang agama, akan tetapi
juga mengenai persoalan-persoalan nasional. Selain mendirikan Tashwirul Afkar,
beliau juga kerap mendirikan Nahdlatut Tujjar hingga Nahdlatul Wathan di
Surabaya. Selain bertujuan untuk mengusir belenggu penjajahan Belanda, dari
organisasi Nahdlatul Wathan inilah, K.H. Abdul Wahab Hasbullah telah berhasil
mendirikan beberapa madrasah atau sekolah di berbagai daerah, antara lain, Madrasah
Ahloel Wathan di Wonokromo, Madrasah Far’oel Wathan di Gresik, Madrasah
Hidayatoel Wathan di Jombang, dan Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya.
Tidak hanya bergiat dalam dunia pendidikan, sosok
K.H. Abdul Wahab Hasbullah ini juga merupakan tokoh yang sangat peduli dengan
perkembangan masyarakat, Pada tahun 1926 misalnya, saat pergerakan tanah air
tengah masih terjajah Belanda, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan para ulama
lainnya seperti K.H. Bisri Syansuri dan K.H. Hasyim Asyari memprakassai berdirinya
Nahdlatul ulama atau NU atau kebangkitan ulama. Lewat NU, Kyai Abdul Wahab
Hasbullah bersama K.H. Hasyim Asyari dan ulama lain tak hanya berperan besar
dalam mengorganisir dan menyetukan umat islam. Dalam perkembangannya kemudian,
NU juga ikut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan nasional.
Selain mendirikan gerakan Pemuda Asnor yang lahir
dari Rahim Nahdhatul Ulama, pada masa penjajahan Belanda, NU tidak terlibat
dalam kegiatan politik dikarenakan misi awal pendirian NU bukan sebagai partai
politik. Namun campur tangan Belanda terhadap bidang keagamaan, tidak dapat
dibiarkan begitu saja, akhirnya tindakan Belanda ini menuai respon dari
berbagai ulama dan organisasi Islam. Karena hal itu KH. Abdul Wahab Hasbullah
memprakasai membentuk sebuah kerangka kelembagaan untuk menyatukan komunikasi
dan musyawarah dengan teratur. Lembaga
ini dinamakan Majlis Islam Ala Indonesia yang dibentuk di kota Surabaya pada 21
September 1937 yang berisikan berbagai organisasi Islam, seperti Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam. Setelah itulah Nahdlatul Ulama
masuk hitungan sebagai gerakan politik.
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun
1942, Selain mendirikan Masyumi sebagai ganti dari MIAI, Kyai Wahid Hasyim dan
Kyai Wahab Hasbullah bersama ulama lainnya berkonstribusi membebaskan K.H.
Hasyim Asy’ari pada tanggal 18 Agustus 1942, saat 4 bulan sebelumnya dipenjara
dan diisiksa oleh Jepang karena menolak melakukan Seikerei.
Saat Jepang kalah perang dan menyerah kepada sekutu,
KH. A. Wahab Hasbullan bersama Kyai Hasyim tanpa ragu langsung menyatakan
dukungan terhadap Negara kesatuan Republik Indonesia yang dproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh soekarno hatta. Dukungan ini kemudian dibuktikan
oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dan para ulama serta kalangan santri dengan
keterlibatan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 22 Oktober 1945 misalnya ketika tentara
NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah
Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan
agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai
Abdul Wahab Hasbullah bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta
dalam pertempuran 10 November 1945. Fatwa jihad atau resolusi jihad ini
mengobarkan para santri, ulama dan umat islam untuk melawan pasukan gabungan
NICA dan Inggris tersebut.
Selain para santri dan ulama, orang-orang perdesaan,
bahkan pejuang di berbagai wilayah di luar Surabaya yang mendengar Resolusi
Jihad itu keluar dari kampung asalnya bergabung dalam laskar Hizbullah dan
Sabilillah bentukan Kyai Hasyim untuk melawan pasukan gabungan NICA dan
Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan
Nasional.
Seiring berjalannya waktu, pada masa Revolusi, atau
masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia presiden Sukarno mengangkat pejabat
dari tokoh NU KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Dewan Pertimbangan Agung karena
presiden mengakui kualitas dan wawasan KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai ulama
dan negarawan.
Selain berkontribusi menarik NU dari Masyumi, K.H.
Abdul Wahab Hasbullah masih memiliki charisma dan kualitas. Dengan kemampuan
bicara, orasi dan berani melakukan gerakan-gerakan yang selalu saja
menyelesaikan persoalan-persolan yang bukan hanya dalam bidang agama, bahkan
hingga masalah nasional.
Sosok KH Wahab Hasbullah memiliki ciri khas dalam
memperjuangkan prinsip yang diyakininya dalam membangun demokrasi. Berbagai
perjuangan yang telah dipelopori oleh KH Abdul Wahab Hasbullah telah membekas
terhadap kaum Islam dan Negara Indonesia.
Muktamar NU ke 25 adalah muktamar terkair yang telah
diikutinya. Sebelum wafat, KH Wahab Hasbullah pernah berdoa agar di hari
terakhir hidupnya dapat memberikan suara pilihannya kepada Nahdlatul Ulama dan
mengikuti muktamar. Sebenarnya, pada waktu itu beliau dalam keadaan sakit. Akan
tetapi jiwanya tidak pernah sakit, menyadari bahwa jabatan yang baru
dipercayakan kembali oleh Muktamirin itu tidak lain tidak bukan adalah tanggung
jawab dunia dan akhirat.
Tepat, 4 hari setelah Muktamar NU ke 25, tepatnya
pukul 10:00 WIB 29 Oktober 1971, KH Abdul Wahab Hasbullah wafat di kediamannya
di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kurang lebih 10 juta warga
Nadliyiin menyambutnya dengan tangis kehilangan. Wafatnya KH Wahab Hasbullah
meninggalkan jejak sejarah harum bagi NU yang berjuang untuk kemerdekaan dan
kemajuan bangsa Indonesia. Atas jasa kiprahnya terhadap Islam dan pengabdiannya
kepada Negara dengan mempertahakan Negara kesatuan Republik Indonesia, akhirnya
presiden Joko widodo pada tahun 2014 menetapkan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
sebagai pahlawan nasional.
Dalam refrensi lain dituliskan banyak sekali bentuk
perjuangan Kiai Wahab dalam memupuk nasionalisme. Di antara bentuk perjuangan
tersebut yaitu:
Pertama, Kiai Wahab menjadi penuntun bagi rakyat
Indonesia. KH. Saifudin Zuhri dalam bukunya yang berjudul “Mbah Wahab
Hasbullah, Kiai Nasionalis Pendiri NU” menyebutkan bahwa Kiai Wahab Hasbullah
adalah orang yang begitu besar pengabdiannya dalam menuntun jalan dan
menanamkan kesiapan mental dan batin rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa yang
mempunyai cita-cita besar. Beliau memilih iman, Islsm dan ihsan sebagai
landasan pembinaan karakter bangsa dalam berkhidmat kepada cita-cita nasional,
yang di dalam ajaran Islam, hal ini dibenarkan dan dianjurkan. (Saifudin Zuhri,
Mbah Wahab Hasbullah, Kiai Nasionalis Pendiri NU, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2010)
Kedua. Kiai Wahab aktif berjuang dalam medan perang.
Beliau adalah pemimpin besar pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia, yaitu
pasukan Barisan Ulama Mujahiddin. Beliau bahu-membahu bersama para kiai dan
seluruh pasukan lainnya untuk membendung serangan dari para penjajah.
Ketiga, Kiai Wahab menciptakan lagu cinta tanah air.
Lagu tersebut diberi judul Syubbanul Wathan. Bait-bait sya’ir dalam lagu ini
berisi seruan untuk mencintai tanah air Indonesia. Salah satu ba’it terpenting
ialah mencintai bangsa dan negara adalah sebagian dari iman. Ini merupakan
aspek fundamental yang harus dipahami dan diamalkan. Melalui lagu ini, Kiai
Wahab hendak menyebarkan spirit nasionalisme ke dalam diri seluruh warga
negara, khususnya kepada warga nahdliyin.
Keempat, Kiai Wahab adalah penggagas silaturrahim
nasional yang dikenal dengan istilah “Halal Bihalal”. Pada tahun 1948, bangsa
Indonesia diterpa badai perpecahan. Banyak pihak, terutama elit politik yang
saling bersinggungan. Untuk mengatasi hal itu, Presiden Soekarno memanggi Kiai
Wahab Hasbullah ke istana untuk diminta pendapatnya guna menyelesaikan
persoalan politik ini.
Kemudian, Kiai Wahab memberikan solusi agar diadakan
silaturrahim nasional dengan nama “Halal bi Halal”. Hal ini dimaksudkan untuk
melebur dosa-dosa dan hal-hal yang haram dari semua pihak yang tengah
berselisih. Dan ternyata hajat ini berjalan sukses dan berhasil mendamaikan
para pihak tersebut. Selanjutnya, acara “Halal bi Halal” ini terus dilakukan,
bahkan hingga saat ini.
Demikianlah spirit nasionalisme yang luar biasa dari
KH Wahab Hasbullah. Beliau mengajarkan betapa pentingnya semangat nasionalisme
dalam diri setiap warga bangsa. Sebab, nasionalisme adalah tiang penyangga
keberlangsungan bangsa dan negara, yang berisi ajaran, nilai, dan prinsip yang
harus dihayati dan ditegakkan bersama. Semoga kita bisa meneladani semangat
nasionalisme KH. Wahab Hasbullah. Amin.
KH. Bisri Syansuri
KH. Bisri Syansuri lahir dari pasangan Syansuri dan
Mariah, pada tanggal 18 September 1886 (2 Dhulhijjah 1304 H). Anak pertama dari
pasangan ini bernama Mas’ud, yang kedua adalah anak perempuan bernama Sumiyati.
Bisri adalah anak ketiga dan setelah itu masih ada dua anak lagi yaitu Muhdi
dan Syafa’atun. Mereka semuanya lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Keluarga ini sangat kuat dalam menjalankan
ibadah, dari garis silsilah ibunya, Bisri merupakan keluarga besar Kiai Kholil
Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem.
Masyarakat Tayu pada umumnya memiliki tingkat
kehidupan yang rendah apabila di bandingkan dengan derah lainya di pulau Jawa.
Tanah pertanian yang tidak subur dan laut yang tidak meghasilkan ikan,
menjadikan masyarakatnya bersikap pasrah dan mempercayai segala macam takhayul.
Pada kondisi yang seperti itu, banyak
orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Pesantren merupakan pusat
pendalaman ilmu dan pesantren juga memiliki peran yang vital sebagai penyedia
calon ulama bagi daerah pedalaman Jawa. Ulama yang dihasilkan dari pesantren
tidak pernah putus hingga saat ini.
Bisri, anak ketiga dari Syansuri dan
Maniah nantinya juga ditakdirkan akan menjadi bagian dari proses pengembangan
ajaran Islam di pedalaman Jawa.
Bisri mulai belajar Al-Qur’an pada usia tujuh tahun
dengan belajar membaca dan aturan bacaan (tajwid) pada Kiai Shaleh di Desa
Tayu. Pelajaran tersebut ditempuh Bisri hingga usia Sembilan tahun, kemudian
beliau melanjutkan belajarnya kepada keluarga dekatnya yang menjadi ulama
terkenal dan memiliki pesantren di Desa
Kajen sekitar 8 km dari Tayu. Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal
Al-Qur’an dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam tentang ilmu fiqih.
Melalui ulama ini pula, Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih,
tafsir, serta kumpulan hadits. Kiai Abdul Salam dalam mendidik Bisri sangat
ketat. Sikap Kiai Salam yang fiqih oriented inilah yang kemudian mempengaruhi
pola pikir dan karakter Bisri di kemudian hari.
Pada usia 15 tahun, Bisri berpindah lokasi belajar.
Beliau menuju pesantren di Demangan, Bangkalan Madura di bawah asuhan KH.
Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang
terpandang di Jawa pada saat itu. Bisri mulai mempelajari ilmu nahwu dan shorof
sebagai pendukung ilmu Al-Qur’annya. Saat berguru pada Kiai Kholil inilah,
beliau bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang santri yang menjadi
sahabat dan rekan perjuangannya.
Pada waktu itu tradisi santri berkeliling untuk
menuntut ilmu masih sangat kuat terjadi di beberapa pesantren. Begitu pula yang
dilakukan oleh Bisri dan Wahab Hasbullah. Pada tahun 1906 keduanya memutuskan
untuk melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH.
Hasyim Asyari. Bisri belajar di
Pesantren Tebuireng selama 6 tahun. Bisri dan Wahab sangat mengagumi reputasi
pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yakni KH. Hasyim Asy’ari, karena kedalaman
ilmu-ilmu agamanya sehingga membuat beliau mendapat gelar maha guru atau
Hadratussyaikh.
Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah ajar dari
gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama,
seperti kitab fiqih Al Zubad (yang kemudian menjadi kegemarannya), hingga ke
kitab hadis yang menjadi spesialisasi KH. Hasyim Asyar’i yaitu hadits Bukhari,
dan Muslim. Ketika itu sudah terlihat corak keilmuan Bisri yang akan membuatnya
terkenal di kemudian hari. Pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam
fiqih sangat beliau kuasai. Bisri menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng pada
tahun 1911-1914, kemudian berangkat ke Mekkah bersama Abdul Wahab Hasbullah.
Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal
Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad Sa’d Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan
Syaikh Jamal Maliki. Juga belajar kepada gurunya Kiai Hasyim Asy’ari seperti
Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas.
Ketika Kiai Bisri berada di Mekkah selama dua sampai
tiga tahun, di sana awal mula pembentukan sebuah cabang Sarekat Islam di tanah
suci. Pendirinya antara lain, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Asnawi Kudus, KH.
Abbas Jember, dan KH. Dahlan Kertosono. Kiai Bisri tidak melibatkan diri dalam
organisasi tersebut, namun hal ini kemudian mengubah pola pikirnya bahwa
perlunya mengorganisir dalam melakukan perjuangan keagamaan di luar jaringan
pesantren. Selain itu Kiai Bisri tidak ikut terlibat secara intens dalam
organisasi Sarekat Islam karena menunggu perkenaan dari guru yang sangat
dihormatinya, Kiai Hasyim Asy’ari, hanya saja, sebelum mendapat izin dari
gurunya, beliau harus kembali ke Tanah Air.
Sebelum kembali ke tanah air, Kiai Bisri menikah
dengan Nur Khadijah, adik perempuan sahabat karibnya, KH. A. Wahab Hasbullah.
Pernikahan ini terjadi pada tahun 1914, dan pada saat itu pula Kiai Bisri
memutuskan untuk kembali ke tanah air. Sepulangnya dari tanah suci Kiai Bisri
menetap di pesantren mertuanya, Tambak Beras Jombang. Bisri tinggal selama dua
tahun, untuk membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian.
Pada tahun 1917 Kiai Bisri berencana untuk
mendirikan sebuah pesantren di Desa Denanyar Jombang. Denanyar merupakan sebuah
desa yang terletak di garis perbatasan antara Kota Jombang dengan daerah
pedalaman sebelah barat laut. Dengan letak yang strategis, didukung adanya
pabrik gula yang praktis, namun ternyata Desa Denanyar rawan dengan berbagai
tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, dan pembunuhan. Kiai Bisri
tidak gentar melihat berbagai kejahatan di desa tersebut, beliau tetep yakin
dengan niat awalnya untuk mendirikan pesantren dan mertuanya Kiai Hasbullah
sangat mendukung langkahnya untk mendirikan pesantran.
Hingga pada akhirnya Kiai Bisri berhasil mendirikan
pesantren sendiri di Denanyar. Hanya saja sebagaimana kebiasaaan saat itu, Kiai
Bisri menerima santri putra saja dan tidak menerima santri perempuan. Pada era
tersebut masyarakat masih memandang remeh pendidikan bagi anak perempuan,
ditambah lagi tidak ada sekolah ataupun pesantren yang menerima perempuan.
Perempuan pada zaman tersebut hanya disuruh diam saja di rumah untuk membantu
memasak dan setelah itu disuruh menikah walaupun umur mereka masih terbilang
dini untuk menikah. Akses pendidikan juga sangat terbatas, hanya anak-anak
priyayi yang bisa bersekolah. Kiai Bisri kemudian bertekad untuk memajukan
pendidikan Islam yang kemudian bersama istrinya melakukan sebuah inovasi dengan
membuka kelas khusus untuk santri-santri putri.
Langkah inovatif ini dimulai pada tahun 1919 dengan
memberikan pendidikan yang sistematis kepada santri putri. Dalam tradisi
pesantren, pondok pesantren putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang
ada pada masa itu atau setidaknya di wilayah Jawa Timur. Tidak heran apabila
kemudian Kiai Bisri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di
kalangan pesantren. Kiai Bisri lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus
untuk santri-santri perempuan di pesantren yang didirikannya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai
patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kiai Bisri termasuk kategori aneh.
Guru yang sangat dihormatinya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang,
niscaya Kiai Bisri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah
dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada
sang guru yang dicintainya.
Pesantren Kiai Bisri di Desa Deanyar tersebut
kemudian dinamai dengan pesantren Mamba’ul Ma’arif. Pada tahun 1923, Kiai Bisri
mendirikan Madrasah Salafiyah yang pelajarannya khusus pada pelajaran agama.
Lama pelajarannya 6 tahun dengan menyandang nama resmi Madrasah Mabadi’ul Huda.
Masyarakat antusias, terbukti madrasah untuk santri putra dan putri ini terisi
penuh empat kelas. Inovasi terus dilakukan oleh Kiai Bisri dengan cara mengubah
bentuk madrasah salafiyah menjadi madrasah modern. Perubahan radikal ini
dilakukan kurang lebih pada awal tahun 1950-an, setelah bangsa Indonesia
benar-benar berdaulat.
Di tengah-tengah proses reformasi pendidikan
pesantren ini, istri Kiai Bisri, Hj. Nur Khadijah meninggal dunia pada tahun
1955. Wafatnya istri yang setia mendampingi Kiai Bisri dalam melakukan
reformasi di bidang Pendidikan Islam ini tentu banyak mempengaruhi pemikiran
Kiai Bisri. Hanya saja, Kiai Bisri tidak mau larut dalam kesedihan. Pada tahun
1956, atas prakarsa Kiai Bisri, dibukalah Madrasah Tsanawiyah yang setara
dengan SLTP. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1958, Madrasah Tsanawiyah
putri dibuka. Modernisasi terus dijalankan secara konsisten. Tepat pada tahun
1962, didirikanlah Madrasah Aliyah yang kemudian juga berjalan dengan stabil.
Pada tahun itu juga status organisasi dikukuhkan dengan membentuk Yayasan
Mamba’ul Ma’arif (YAMAM).
Dalam refrensi lain di tuliskan mengenai jasa-jasa Beliau antara lain:
Salah Satu Pendiri NU
KH. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kiai yang
hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati
berdirinya organisasi NU. KH. Bisri Syansuri duduk sebagai A’wan (anggota)
Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.
Sejak KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947,
jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat
oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, di mana KH. Bisri Syansuri ditetapkan sebagai
wakilnya. Tahun 1971 beliau menggantikan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais
‘Aam sampai akhir hayatnya.
Memimpin NU dan Pejuang RUU Perkawinan Orde Baru
Ketika NU secara formal tergabung dalam partai
berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika KH.
Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disahkannya UU perkawinan hasil
rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat, Rais Aam NU
berada di pundak KH. Bisri Syansuri pada tahun 1972, era mulai menguatnya
pemerintahan Orde Baru. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh
dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain
kecuali menolaknya. Sangat menarik untuk diikuti bahwa proses perundingan dalam
upaya menyetujui RUU tersebut agar menjadi Undang-Undang (UU) berlangsung sangat
alot dan ketat.
Isi RUU Alternatif rancangan para ulama yang
dimotori KH. Bisri Syansuri, yang meliputi:
1. Perkawinan bagi orang muslim harus dilakukan
secara keagamaan dan tidak secara sipil (pasal 2: NU berhasil memenangkan
pendapatnya);
2. Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah
setelah diceraikan harus diperpendek. Pemerintah mengusulkan satu tahun,
sedangkan NU minta tiga bulan karena menuntut seorang dari Muslimat, suami
berhak rujuk kembali kepada istri selama masa ‘iddah itu. Tidak ada perkecualian
diberlakukan bagi wanita usia lanjut.
3. Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak
diizinkan. NU cukup berhasil dalam arti definisi anak yang sah adalah yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.
4. Pertunangan dilarang karena “dapat mendorong ke
arah perzinahan. NU berhasil, pasal 13 ini dihapus.
5. Anak angkat tidak memiliki hak yang sama dengan
anak kandung. Dalam hal ini NU berhasil; pasal 42 mengatakan bahwa anak yang
sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.
6. Penghapusan sebuah pasal dari rancangan
undang-undang yang diajukan yang menyatakan bahwa perbedaan agama bukan
halangan bagi perkawinan. Pasal 11 ini dihilangkan dan tidak disinggung.
7. Batas usia yang diperkenankan untuk menikah
ditetapkan adalah 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita 19 tahun bagi pria dan
bukan 21 tahun. Pada pasal 7 ini, NU berhasil.
8. Penghapusan pasal mengenai pembagian rata harta
bersama antara wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing
suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang
mengusahakannya”. Pada pasal ini, NU berhasil.
9. NU menolak larangan perkawinan antara dua orang
yang memiliki hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak
dari orang tua angkat. Pasal ini disempurnakan menjadi hubungan sebagai anak
angkat tidak dilarang, tetapi disinggung pula soal hubungan persusuan.
10. NU menolak larangan melangsungkan perkawinan
lagi antara suami-istri yang telah bercerai. Dalam pasal 10 ini, NU berhasil.
Perlawanan NU dalam RUU Perkawinan di awal Orde Baru tersebut tidak terlepas
dari KH. Bisri Syansuri ahli fiqih yang telah matang, bersama kiai-kiai NU
lain.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika KH.
Bisri Syansuri nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah
nyantri di Tebuireng. KH. Bisri Syansuri sangat mendalami pokok-pokok
pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak
mengherankan jika KH. Bisri Syansuri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah
hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada
kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Hal ini lah yang membuat, KH. Bisri Syansuri menjadi tidak kaku dan
kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Menjadi Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali
ketika KH. Bisri Syansuri bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) mewakili Masyumi, KH. Bisri Syansuri menjadi anggota Dewan Konstituante
dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP. Hasil pemilu
1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota Konstituante, sampai lembaga itu
dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil
Pemilu 1971 mengantarkan KH. Bisri Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR
RI dari unsur NU. Jabatan itu dipegangnya sampai beliau wafat.
Karier
Pada tahun 1972 KH. Bisri Syansuri diangkat sebagai
Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.
Menjadi Ketua Majelis Syuro PPP
Menjadi anggota Konstituante, sampai lembaga itu
dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada Pemilu 1971 mengantarkan KH. Bisri Syansuri
kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU
Pada masa kemerdekaan beliau terlibat dalam lembaga
pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).
Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini
terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa
Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Kisah Teladan
Menegur Bung Hatta Memakai Peci
Pada suatu Jum’at, KH. Bisri Syansuri sedang
melaksanakan shalat di masjid Mataraman Jakarta. Di masjid ini pula Bung Hatta
istiqamah melaksanakan shalat. Pada saat itu, KH. Bisri Syansuri melihat Bung
Hatta sedang shalat dan saat bersujud dahinya masih tertutup oleh peci
hitamnya.
Setelah Bung Hatta selesai shalat, Kiai Bisri dengan
ramah memperkenalkan diri, sekaligus dengan lembut mengingatkan Bung Hatta jika
dalam shalat, dahi tidak boleh tertutup oleh peci. Setelah itu setiap kali Bung
Hatta memasuki masjid pecinya langsung didongakkan ke belakang sehingga tidak
menutupi dahi ketika melangsungkan sujud.
Peduli Terhadap Perempuan
Pada tahun 1919, KH. Bisri Syansuri melakukan suatu
gebrakan baru mengenai hal yang dirasa tabu oleh masyarakat yaitu mendirikan
kelas khusus bagi perempuan di pesantrennya.
Hal tersebut merupakan hal pertama yang terjadi di
lingkungan pesantren khususnya di Jawa Timur. Mendengar hal tersebut, KH Hasyim
Asy’ari langsung berangkat menuju Denanyar, Jombang. Beliau melihat, langsung
proses pembelajaran kelas perempuan dan berkesimpulan bahwa hal tersebut tidak
dilarang.
Di abad 20 saja KH. Bisri Syansuri mampu membangun
pendidikan perempuan yang sangat mulai. Banyaknya kasus asusila dan pelecehan
pada perempuan sangat kontras dengan usaha yang dilakukan oleh Kiai Bisri. Kita
patut mencontoh ide KH. Bisri Syansuri. Sebab dari perempuan cerdas akan
melahirkan generasi yang cerdas pula.
Teguh Pendirian Dalam Fiqih
KH. Bisri Syansuri merupakan seseorang yang teguh
pendirian. beliau akan mati-matian untuk mempertahankan apa yang menjadi
prinsipnya. Seperti dijelaskan sebelumnya, KH. Bisri Syansuri merupakan
seseorang yang mencintai fiqh sepanjang hayatnya. Maka, itulah yang akan ia
pegang hingga maut tiba.
Meskipun beliau berbeda prinsip dengan KH. Abdul
Wahab Chasbullah yang merupakan kakak iparnya, namun mereka tetap berjalan
tanpa bermusuhan. Keduanya tetap memegang apa yang telah menjadi keteguhan
hidupnya.
Pengabdian di NU
Salah Satu Pendiri NU
KH. Bisri Syansuri termasuk salah seorang Kiai yang
hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati
berdirinya organisasi NU. KH. Bisri Syansuri duduk sebagai A’wan (anggota)
Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.
Sejak KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947,
jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat
oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, di mana KH. Bisri Syansuri i ditetapkan
sebagai wakilnya. Tahun 1971 ia menggantikan KH. Abdul Wahab Chasbullah sebagai
Rais ‘Aam sampai akhir hayatnya.
Diangkat menjadi Rais Aam PBNU
Setelah wafatnya KH. Abdul Wahab Chasbullah 1972,
KH. Bisri Syansuri diangkat sebagai Rais Aam Syuriah pimpinan tertinggi
Nahdlatul Ulama. Saat ketika NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan
beliau pernah menjabat sebagai Ketua Majlis Syuro. KH. Bisri Syansuri terpilih
menjadi anggota DPR hingga tahun 1980.
Diangkat
Penghargaan Pahlawan Santri
Penghargaan Pahlawan Santri kepada Pendiri Pondok
Pesantren (Ponpes) Denanyar, Jombang, Jawa Timur (Jatim) itu diberikan langsung
oleh Pengasuh Ponpes Darul Muttaqien, Bogor, KH Matrajo kepada anak almarhum
KH. Bisri Syansuri, yakni Hj Muhassonah Hasbullah (mewakili keluarga) di Gedung Galeri Nasional Indonesia, Jalan
Merdeka Timur, Jakarta, Minggu (22/10).
Itu gambaran sekilas mengenai Perjuangan para Tokoh Ulama' Pendiri Nahdlatul Ulama' yang diambil dari beberapa refrensi dan masih banyak lagi tentunya terkait kisah perjuangan-perjuangan para tokoh Ulama' Nahdlatul Ulama' dan Semoga kita semua sebagai santri NU bisa meneladani contoh perjuangan beliau yang sudah dilakukan oleh beliau semua amiin.
Waallahu A'lam Bishowab
Sumber Rujukan :
Abdurrahman Wahid, Kiai Bisri Syansuri : Pecinta
Fiqih Sepanjang Hayat, (Jakarta: Amanah, 1989)
https://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/
https://pesantren.id/kh-wahab-hasbullah-sang-pejuang-nasionalisme-10080/
https://ppanwarulhuda.com/rubrik/literasi-santri/jiwa-merdeka-k-h-abdul-wahab-hasbullah-sebuah-biografi-dan-perjuangan-k-h-abdul-wahab-hasbullah/
https://tebuireng.online/4-peran-kh-hasyim-asyari-untuk-kemerdekaan-ri/
https://ulamanusantaracenter.com/biografi-kh-bisri-syansuri-tokoh-pembaruan-pesantren/
https://www.laduni.id/post/read/645/biografi-kh-bisri-syansuri#Jasa
https://www.tambakberas.com/
KH. A, Aziz Masyhuri, Almaghfirlah KH. M. Bisri
Syansuri: Cita-cita dan pengabdiannya (Surabaya:al-ikhas,tt)